Oleh: Ma’ruf Uba Haikal
(Ketua PK KNPI Kec. Sape)
17 Agustus merupakan tanggal kemerdekaan RI, setiap tahun pula kita memperingatinya, baik sebelum, selama, dan sesudahnya. Peringatan itu ditandai dengan berbagai cara, dapat berupa pengibaran bendera di masing-masing rumah, kantor, dan instansi. Di beberapa sudut jalan dihiasi ornamen kemerdekaan dan dominasi warna merah putih. Perayaan pun di gelar mulai dengan pawai, lomba-lomba, sampai dengan pentas musik. Bagi pelajar dan aparatur negara tepat di hari H melaksanakan upacara bendera.
Tetapi akhir-akhir ini peringatan kemerdekaan yang seharusnya semarak tampil kurang greget, semua hanya berjalan sekedar seremonial belaka tanpa makna dan tidak membekas cukup dalam. Upacara bendera yang seharusnya berjalan hikmat, dilakukan tanpa semangat dengan panas matahari yang cukup terik sering menjadi kambing hitamnya, sekedar datang hanya gugur kewajiban untuk absensi. Bagi peserta upacara masih mending, ada kesempatan untuk menghormat bendera, dapat dapat wejangan berbau patriotis dari inspektur upacara. Bagi yang tidak mengikuti –di luar pelajar dan aparatur negara- tiada kegiatan “resmi” yang dilakukan, peringatan dan perayaan sepertinya hanya biasa-biasa saja tidak ubahnya dengan hari lain.
Kita kehilangan makna peringatan kemerdekaan itu, seolah-olah kita tidak tahu –bahkan tidak mau tahu- bahwa kemerdekaan itu didapat dengan susah payah dengan penuh pengorbanan cucuran darah, keringat, air mata bahkan nyawa. Kemerdekaan merupakan harga mati, tak heran pada waktu itu istilah : “Kami cinta perdamaian tetapi kami lebih cinta kemerdekaan”, “Merdeka atau mati”, “Sekali merdeka tatap merdeka” merupakan istilah yang tidak asing bagi para pejuang dan rakyat pada waktu era perjuangan dulu. Setelah puluhan tahun mencapai kemerdekaan, terasa semangat kendur untuk mengisi dan mencapai tujuan kemerdekaan itu sendiri.

Kemiskinan, kebodohan, kesenjangan, dan ketidakadilan yang masih mendera kebanyakan rakyat mungkin yang menjadikan kurang memaknai arti kemerdekaan itu. Alih-alih memikirkan itu semua, untuk mencari makan sehari-hari susahnya minta ampun, pendidikan yang tidak terjangkau, dan sulitnya memperoleh fasilitas kesehatan (rumah sakit) dan jaminan sosial (hari tua). Banyaknya pengangguran, pengemis di jalan, dan anak terlantar seolah- olah mereka tidak mempunyai negara (baca:pemerintah) yang mengurusinya, padahal hal tersebut merupakan amanat UUD 45 yang menjamin rakyatnya untuk cerdas dan sejahtera. Logika pemikiran mereka mempertanyakan, mengapa negeri yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, tanah yang subur tidak membuat mereka sejahtera. Mereka bahkan membandingkan dengan negara yang alamnya miskin (sumber daya alam minim) mampu membuat rakyatnya hidup makmur.
Saat ini kita masih dapat melihat segelintir para pejuang veteran yang masih tersisa. Dari situ kita dapat pelajaran bahwa dengan kondisi yang renta mereka dapat berdiri tegak sambil menghormat bendera merah putih dengan penuh semangat dan rasa bangga. Mengenai hal itu kita tidak perlu dipertanyakan dan diragukannya lagi. Padahal kita tahu bahwa negara masih belum menghargainya secara layak yang seharusnya mereka terima. Mereka tidak menuntut apa-apa, mereka menyadari bahwa negara ini masih belum makmur. Semangat itu yang perlu kita contoh. Jaman telah berubah, saat ini merupakan jaman generasi pengisi kemerdekaan. Generasi yang tidak terlibat langsung dalam kancah perjuangan, generasi yang mewarisi kemerdekaan dari para pejuang.
Memaknai peringatan kemerdekaan boleh jadi memaknai kemerdekaan itu sendiri. Bagaimana memaknai kemerdekaan yang bisa dirasakan semua orang. Yang kita tahu bahwa kemerdekaan itu aman dan sejahtera. Karena setiap generasi mempunyai caranya sendiri memaknai kemerdekaan, hal tersebut tercermin jelas ketika peringatan kemerdekaan di setiap tahunnya. Saat ini kita kehilangan “ruh”nya, semangat memahami arti kemerdekaan. Kita sebagai warga negara merdeka selayaknya mewarisi semangat para pejuang kemerdekaan itu, tanpa pamrih dan penuh dedikasi kepada bangsa dan negara. Kita sebagai generasi penerus menginginkan menemukan kembali makna kemerdekaan yang benar-benar menancap di sanubari, ia bagai mutiara yang hilang, suatu yang berharga dan berharap kembali. Apakah yang kita cari tersebut nantinya baru di dapatkan bila negara ini sudah benar-benar aman, adil, dan sejahtera? Sulit rasanya menjawab pertanyaan tersebut yang ada menambah pertanyaan tersisa:
Apakah kita benar-benar merdeka?
Mengapa kita perlu merdeka?
Siapakah orang-orang merdeka itu?
Kapan sebenarnya kita merdeka?