Tenunan

Tenun atau dalam Bahasa Mbojo dikenal dengan “Muna ro Medi” sudah menjadiusaha turun temurun sebagai sumber mata pencaharian sekaligus dijadikan profesi oleh masyarakat Bima. Tembe atau sarung tenun tangan khas Bima, dibuat dari benang kapas (katun), dengan warna-warni yang cerah dan bermotif khas sarung tenun tangan. Dengan warna yang bervariasi dan bermotif khas Bima.

Di Kelurahan Ntobo Kecamatan Raba Kota Bima, sebagain masyarakatnya dari kecil sudah diajarkan menenun oleh orang tuanya, hampir semua kalangan perempuan sudah menjadi kewajiban untuk mengerjakan profesi ini. Sejak dulu daerah ini dikenal sebagai pusat pengrajin tenunan, yang menghasilkan  sarung Songket, Nggoli, Galendo, Gerinda, Sambolo dan Weri. Pada masa lalu sarung Weri dan Sambolo didatangkan dari Ntobo untuk kebutuhan lingkungan Istana. Di Kota Bima penenun tersebar juga di wilayah Rabadompu dan PenanaE, juga memiliki motiftidak jauh beda dengan tenunan Ntobo.

Untuk pola kerjanya, kain ditenun terlebih dahulu tinggal menunggu pembeli yang datang, ada juga yang melayanipemesanan. Kain sarung yang ditenun ada yang mempunyai selendang dan tidak mempunyai selendang, untuk yang mempunyai selendang biasanya dipesan, sedangkan yang tidak mempunyai selendang ditenun sebagai pengisi waktu sambil menunggu ada pembeli.

Harganya beragam, dari Rp.120,000 sampai dengan Rp.750,000. Semakin mahal harga sarung tersebut maka semakin bagus kualitas bahan yang dipakai dan motifnya pun berbeda. Untuk  membedakan sarung dapat dilihat dari benang yang digunakan seperti Sarung Galendo dengan Sarung Songket, sarung Galendo pada umumnya kaku sedangkan Sarung Songket lembek, dan motifnya pun berbeda-beda.

Modal untuk membuat satu sarung biasanya sekitar Rp.100.000 sampai dengan Rp.500.000 tergantung jenis sarung yang ditenun dan itu belum termasuk upah orang yang mempersiapkan tenunan, proses persiapan benang yang akan digunakan kira-kira membutuhkan waktu sekitar 4 jam dan dilakukan oleh orang yang memang berprofesi khusus dibidang itu. Adapun nama alat untuk proses pembuatan sarung seperti Janta, Langgiri, Lira, Uma Pusu. Pekerja yang melakukan ini mendapatkan upah 35.000 rupiah persarung.

Rosidah yang ditemui Tim Eksebisi dalam melakukan penelusuran lebih jauh tentang kondisi kerajinan tradisional yang menjadi ciri khas Bima. Rosidah biasanya membutuhkan waktu kurang dari 4 hari untuk menyelesaikan satu sarung, ketika ditanya mengenai kesulitan dalam bertenun, “Tidak ada kesulitan bagi saya sendiri untuk menenun dan semuanya saya melakukannya dengan baik dan teliti, biasanya kalau sarung pesanan dapat diselesaikan dalam waktu 2-3 hari”. Jawab Rosidah.

Namun Rosidah mengaku kekecewa terhadap pemerintah yang kurang melirik perkembangan tenun tradisional, belum adanya upaya pemerintah membangun dan mengembangkan komunitas tenun, membuat program pelatihan seperti pelatihan penenun muda, agar jumlah penenun terus bertambah dan tradisi menenun tetap terjaga. Ia berharap agar pemerintah dapat menyediakan tempat untuk pemasaran hasil tenun, dengan begitu dapat memotivasi penenun-penenun baru.

Berharap kain tenun yang telah memiliki motif yang beragam perlu dikembangkan lagi pasarnya, sebelumnya kain tenun hanya sekedar menjadi bahan sarung sekarang juga bisa untuk baju, jas, tas dan kerajinan lainnya. Memberikan ruang dan menciptakan even promosi, pagelaran busana, merancang model pakaian dari kain tenun perlu digelorakan agar tenunan Bima dapat menjadi tuan rumah di daerah sendiri.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *