Oleh : Raihan Al Afif
( Kader HMI Cabang Mataram)
Di Republik ini, hidup sendirian terasa sepi. Hidup bersama, diajak korupsi. Hidup beragama, dikubuli. Hidup ateis, ditimpuki. Hidup cerdas, dimusuhi. Hidup bodoh, dikadali.
Sentimental itulah yang sering kali dipertontonkan di Republik ini. Bagaimana tidak, Cultur tersebut semakin menjamur di belahan Nusantara sehingga mengakibatkan disparitas sosial atas terbentuknya Segregasi-segregasi sosial tertentu. Perihal demikian tidak semua orang menginginkan nya, masyarakat tidak bisa disalahkan akan hal demikian, karena kekuasaan tengiklah yang mengkerdilkan pikiran masyarakat.
Sistem pemerintahan Demokrasi yang merupakan landasan dasar negara ini seharusnya menjadi tameng kuat dalam mengawal Ikhwal kehidupan berbangsa dan bernegara, Masyarakat yang memiliki Otoritas penuh semakin di Alieanasikan oleh para Bandit-bandit demokrasi. Arah pikiran masyarakat digiring kesana kemari sehingga melupakan apa yang menjadi keluh kesah bangsa ini.
Bagaimana tidak, muncul setiap problem di negeri ini yang tak pernah memiliki obat untuk mengatasinya. Masyarakat selalu dikorbankan dan dibenturkan dalam keadaan demikian demi kepuasan batin para elit-elit kekuasaan. Kita lihat saja, mulai dari Kasus Penodaan Kitab Suci Al Qur’an oleh Basuki Tjahaja Purnama yang menimbulkan gelombang kritik dari Umat Islam, Revisi UU KUHP, Revisi UU KPK, Kasus penusukan Wiranto, Kasus Suap PAW DPR RI Harun Masiku yang melibatkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sampai dengan Rencana penerapan Undang-undang Cipta Kerja ( Omnibus Law), kemudian simalakama Wabah Covid-29, yang mengakibatkan terjadinya disintegrasi.
Bagaimana nasib demokrasi ditangan Rakyat?
Demokrasi sebagai sistem pemerintah Indonesia membuka ruang bagi Rakyat untuk menjadi bagian dari pembangunan Negara guna menciptakan keutuhan dalam bernegara, sehingga memanimalisir terjadinya kesenjangan sosial. Namun demikian, hal itu sangat berbanding terbalik dengan kondisi sosial saat ini. Demokrasi seharusnya diperuntukkan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sangat jauh dari perihal tersebut. Kita liat saja, kebebasan beraspirasi dan berekspresi dihadapan publik kini dibatasi, media-media dibungkam, dan nalar kritis mahasiswa dikatakan radikal.
Langkah Strategis pemerintah dalam menanggulangi setiap permasalahan di negeri ini bukan semakin berkurang tetapi semakin bertambah dengan Isu-Isu yang dibuat oleh para Elit hari ini, sehingga Konsentrasi Rakyat terpecah belah oleh Isu-Isu yang dibuat.
Benturan semacam inilah yang mengakibatkan terjadinya disparitas sosial dalam masyarakat dan menimbulkan terjadinya Distrust. Dilain pihak, muncul pula kelompok-kelompok Ekstrim dalam memanfaatkan kondisi bangsa yang semakin carut marut, muncul kerajaan-kerajan kecil dalam tubuh bangsa Indonesia sebagai upaya menjawab kegelisahan bangsa ini, tetapi hal demikian sangat mengancam keutuhan NKRI dengan Mainstream yang radikal. Hal demikian menandakan bahwa bangsa ini sedang dalam ancaman perpecahan.
Sejak saat demokrasi digaungkan di negeri oleh para Founding Fathers bangsa, letak kekuasaan sepenuhnya ada di Rakyat. Namun, legitimasi tersebut mengalami siklus krisis identitas. bahkan Pramoedya mengatakan : “Sejak Zaman Nabi Sampai sekarang, Taka ada manusia yang bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Sementara pertama-tama mereka melepaskan diri, seorang diri di tengah-tengah hutan atau samudera masih membawa keraguan sisa-sisa kekuasaan sesamanya. Dan selama ada yang diperintah dan diatur,dikuasai, orang berpolitik.”
Kondisi negeri sekarang sedang berada di ujung tanduk kebengisan kekuasaan, pemerintah seharusnya mencari solusi yang pas ditengah gelombang disintegrasi bangsa hari ini, serta melibatkan seluruh elemen masyarakat ( gotong royong). Demokrasi Mental Oligarki”
Oleh : Raihan Al Afif
( Kader HMI Cabang Mataram)
Di Republik ini, hidup sendirian terasa sepi. Hidup bersama, diajak korupsi. Hidup beragama, dikubuli. Hidup ateis, ditimpuki. Hidup cerdas, dimusuhi. Hidup bodoh, dikadali.
Sentimental itulah yang sering kali dipertontonkan di Republik ini. Bagaimana tidak, Cultur tersebut semakin menjamur di belahan Nusantara sehingga mengakibatkan disparitas sosial atas terbentuknya Segregasi-segregasi sosial tertentu. Perihal demikian tidak semua orang menginginkan nya, masyarakat tidak bisa disalahkan akan hal demikian, karena kekuasaan tengiklah yang mengkerdilkan pikiran masyarakat.
Sistem pemerintahan Demokrasi yang merupakan landasan dasar negara ini seharusnya menjadi tameng kuat dalam mengawal Ikhwal kehidupan berbangsa dan bernegara, Masyarakat yang memiliki Otoritas penuh semakin di Alieanasikan oleh para Bandit-bandit demokrasi. Arah pikiran masyarakat digiring kesana kemari sehingga melupakan apa yang menjadi keluh kesah bangsa ini.
Bagaimana tidak, muncul setiap problem di negeri ini yang tak pernah memiliki obat untuk mengatasinya. Masyarakat selalu dikorbankan dan dibenturkan dalam keadaan demikian demi kepuasan batin para elit-elit kekuasaan. Kita lihat saja, mulai dari Kasus Penodaan Kitab Suci Al Qur’an oleh Basuki Tjahaja Purnama yang menimbulkan gelombang kritik dari Umat Islam, Revisi UU KUHP, Revisi UU KPK, Kasus penusukan Wiranto, Kasus Suap PAW DPR RI Harun Masiku yang melibatkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sampai dengan Rencana penerapan Undang-undang Cipta Kerja ( Omnibus Law), kemudian simalakama Wabah Covid-29, yang mengakibatkan terjadinya disintegrasi.
Bagaimana nasib demokrasi ditangan Rakyat?
Demokrasi sebagai sistem pemerintah Indonesia membuka ruang bagi Rakyat untuk menjadi bagian dari pembangunan Negara guna menciptakan keutuhan dalam bernegara, sehingga memanimalisir terjadinya kesenjangan sosial. Namun demikian, hal itu sangat berbanding terbalik dengan kondisi sosial saat ini. Demokrasi seharusnya diperuntukkan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sangat jauh dari perihal tersebut. Kita liat saja, kebebasan beraspirasi dan berekspresi dihadapan publik kini dibatasi, media-media dibungkam, dan nalar kritis mahasiswa dikatakan radikal.
Langkah Strategis pemerintah dalam menanggulangi setiap permasalahan di negeri ini bukan semakin berkurang tetapi semakin bertambah dengan Isu-Isu yang dibuat oleh para Elit hari ini, sehingga Konsentrasi Rakyat terpecah belah oleh Isu-Isu yang dibuat.
Benturan semacam inilah yang mengakibatkan terjadinya disparitas sosial dalam masyarakat dan menimbulkan terjadinya Distrust. Dilain pihak, muncul pula kelompok-kelompok Ekstrim dalam memanfaatkan kondisi bangsa yang semakin carut marut, muncul kerajaan-kerajan kecil dalam tubuh bangsa Indonesia sebagai upaya menjawab kegelisahan bangsa ini, tetapi hal demikian sangat mengancam keutuhan NKRI dengan Mainstream yang radikal. Hal demikian menandakan bahwa bangsa ini sedang dalam ancaman perpecahan.
Sejak saat demokrasi digaungkan di negeri oleh para Founding Fathers bangsa, letak kekuasaan sepenuhnya ada di Rakyat. Namun, legitimasi tersebut mengalami siklus krisis identitas. bahkan Pramoedya mengatakan : “Sejak Zaman Nabi Sampai sekarang, Taka ada manusia yang bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Sementara pertama-tama mereka melepaskan diri, seorang diri di tengah-tengah hutan atau samudera masih membawa keraguan sisa-sisa kekuasaan sesamanya. Dan selama ada yang diperintah dan diatur,dikuasai, orang berpolitik.”
Kondisi negeri sekarang sedang berada di ujung tanduk kebengisan kekuasaan, pemerintah seharusnya mencari solusi yang pas ditengah gelombang disintegrasi bangsa hari ini, serta melibatkan seluruh elemen masyarakat (gotong royong).