UJIAN NASIONAL YANG “MATI MENDADAK” KARENA COVID-19

Penulis
Ibnu Hajar,M.Pd

Ujian Nasional yang disingkat UN dari historisnya mengalami transformasi beberapa kali. Mulai dari awal kelahirannya tahun 1950 sampai tahun 1964 diberi nama Ujian Penghabisan dan dilakukan secara nasional. Kemudian pada 1965 sampai dengan 1971, ujian akhir yang diterapkan disebut Ujian Negara. Tujuannya adalah untuk menentukan kelulusan, sehingga siswa dapat melanjutkan ke sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri apabila telah lulus Ujian Negara. Sedangkan bagi yang tidak lulus Ujian Negara tetap memperoleh ijazah dan dapat melanjutkan ke sekolah atau perguruan tinggi swasta.

Ujian Negara kemudian berganti nama menjadi Ujian Sekolah pada 1972 sampai 1979. Seluruh bahan ujian disiapkan oleh sekolah atau kelompok sekolah. Kriteria tamat ditentukan oleh masing-masing sekolah dengan tidak mengenal Lulus atau Tidak Lulus, tetapi menggunakan istilah TAMAT. Persentase kelulusan sangat tinggi bahkan dapat dikatakan semua peserta didik lulus (100%).

Ujian Sekolah juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk kelebihannya, yakni menurunkan tingkat drop out peserta didik, tidak ada tekanan bagi sekolah dalam hal kelulusan, dan sekolah memiliki otoritas yang tinggi dalam penentuan kelulusan. Kekurangannya, seperti nilai hasil ujian antar sekolah tidak dapat diperbandingkan, hasil ujian sekolah tidak dapat dilakukan pemetaan sekolah pada tingkat daerah dan nasional, dan hasil ujian tidak dapat dijadikan sebagai alat seleksi.

Pada tahun 1980 sampai 2002 berganti nama menjadi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Sejumlah mata pelajaran pokok diujikan melalui Ebtanas, sedangkan mata pelajaran lainnya diujikan melalui Ebta. Tujuan dari Ebtanas dan Ebta adalah untuk memperoleh Surat Tanda Tamat Belajar (STTB).

Tentu Ebtanas dan Ebta memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk kelebihannya, seperti nilai hasil ujian (khususnya Ebtanas) dapat dibandingkan, nilai Ebtanas Murni (NEM) dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang yang lebih tinggi, dan dapat dilakukan pemetaan mutu sekolah berdasarkan NEM pada tingkat daerah dan nasional.

Sedangkan kekurangannya, sekolah yang nilai Ebtanasnya rendah cenderung menaikkan (memanipulasi) nilai P dan Q untuk mencapai batas kelulusan, motivasi belajar peserta didik rendah, karena peserta didik beranggapan bahwa semua akan lulus sehingga tidak memotivasi untuk giat belajar.

Pada tahun 2003 sampai 2004, Ebtanas berubah menjadi Ujian Akhir Nasional. Tujuan UAN adalah untuk (a) menentukan kelulusan, (b) pemetaan mutu pendidikan secara nasional, (c) seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kriteria kelulusan UAN tahun 2003 adalah (a) memiliki nilai seluruh mata pelajaran yang diujikan secara nasional, (b) tidak terdapat nilai < 3.00, (c) nilai rata-rata (UAN +UAS) minimal 6.00. Sedangkan pada UAN tahun 2004 kriteria kelulusan adalah (a) memiliki nilai seluruh mata pelajaran yang diujikan secara nasional, (b) tidak terdapat nilai < 4.00, (c) nilai rata-rata (UAN +UAS) minimal 6.00. Pada limit waktu tahun 2003 sampai 2004 dimana UN menentukan kelulusan memang pernah menjadi momok yang sangat menakutkan bagi seluruh peserta didik. Karena pada setiap menjelang pelaksanaannya selalu menjadi kambing hitam penyebab penyakit stres dan munculnya keinginan bunuh diri pada anak-anak sekolah. Bukankah waktu menjelang selesai mengenyam pendidikan adalah waktu-waktu yang menyenangkan karena sebentar lagi mereka selesai dan sekaligus waktu yang mengharukan karena mereka akan segera berpisah dengan teman-teman sekelas dan satu sekolah mereka ? Tetapi oleh UN waktu-waktu yang mestinya menjadi moment penuh suka dan duka menjadi waktu yang mencekam atau menakutan. Di hadapan peserta didik hanya ada dua kemungkinan yang mereka dapatkan setelah mengikuti UN, yaitu lulus dan tidak lulus. Jika mereka lulus maka mereka senang, gembira, tertawa dan malahan lanjut acara corat-coret baju dan arak-arakan di jalan. Tetapi kalau mereka tidak lulus maka mereka bersedih,menangis, malu, menyendiri, stres dan malahan ada yang lanjut sampai bunuh diri. Demikianlah sekilas kondisi disaat UN menentukan kelulusan peserta didik. UN memang menjadi polemik diakhir-akhir menjelang penghapusannya. Sebab kenapa tidak, di awal-awal keberadaannya tidak begitu banyak pihak yang menolak keberadaannya, tetapi seiring dengan berjalannya waktu kerberadaannya mulai ditolak oleh berbagai pihak dengan berbagai alasan. Mulai dari alasan membuat siswa banyak yang stres dan malahan bunuh diri sampai pada UN tidak bisa menentukan kelulusan siswa dari satuan pendidikan. Memang terasa tidak adil, oleh karena tidak lulus UN yang hanya pelaksanaannya 3-4 hari sampai memupuskan cita-cita mereka yang sudah belajar 3-4 tahun belajar dibangku sekolah. Menentukan standar nilai kelulusan yang sama bagi seluruh siswa seluruh indonesia juga menjadi bahan polemik. Padahal kita tahu bahwa karakteristik masing-masing daerah di Indonesia sangat beragam, mulai dari topografi, ekonomi, sarana dan prasarana dan sumber daya manusia tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Bagaimana mungkin kita menentukan standar kelulusan yang seragam untuk seluruh daerah di Indonesia yang penuh dengan keberagaman. Inilah antara lain yang menjadi alasan sehingga UN yang sebelumnya menentukan kelulusan menjadi tidak menentukan kelulusan dan hanya digunakan sebagai parameter pemetaan mutu pendidikan. Ujian Akhir Nasional berganti nama menjadi Ujian Nasional pada 2005 sampai saat ini. Seluruh soal disiapkan oleh pusat dengan menggunakan soal-soal dari Bank Soal Nasional. UN diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dibantu Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik). Penyelenggaraan UN di daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, yaitu tingkat provinsi di bawah tanggung jawab gubernur, tingkat kabupaten/kota oleh bupati, dan tingkat sekolah oleh kepala sekolah penyelenggara UN. Biaya Ujian Nasional ditanggung oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Mutu lulusan berdasarkan nilai rata-rata peserta didik meningkat. Ujian Nasional (UN) diselenggarakan bukan untuk menentukan kelulusan tetapi untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan peserta didik pada jenjang satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah sebagai hasil dari proses pembelajaran sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Selain itu, salah satu kegunaan hasil UN adalah untuk melakukan pemetaan tingkat pencapaian hasil belajar siswa pada satuan pendidikan. Salah satu upaya untuk mewujudkan pendidikan berkualitas diperlukan adanya sistem penilaian yang dapat dipercaya (credible), dapat diterima (acceptable), dan dapat dipertanggunggugatkan (accountable). Kelulusan peserta didik memang sejatinya adalah merupakan ranah guru dan sekolah. Bukankah mereka yang tau persis perkembangan, potensi dan kompetensi anak yang mereka didik sendiri. Banyak dampak negatif bagi guru dan sekolah ketika guru dan sekolah tidak menentukan kelulusan peserta didik. Siswa tidak lagi punya rasa patuh dan hormat yang tinggi terhadap guru mereka, siswa tidak lagi mentaati tata tertib yang dibuat sekolah. Karena menurut mereka kelulusan tidak ditentukan oleh guru dan sekolah mereka, tetapi oleh UN. Keputusan UN tidak lagi menentukan kelulusan adalah keputusan yang sangat mengembirakan bagi guru. Guru merasa bahwa hak mereka selama ini yang telah direnggut telah kembali. Kewibawaan guru di mata anak didik kembali tumbuh, demikian juga rasa hormat, patuh dan taat terhadap guru kembali tumbuh. Demikianlah sekilas tentang sejarah UN dengan segala dinamikanya. Sekarang UN sudah menjadi menjadi bagian dari masa masa lalu bagi kita. UN telah “mati mendadak” semenjak dunia dan Indonesia diserang oleh wabah Covid-19. Virus ini memang telah banyak memakan korban manusia dan berpengaruh pada berbagai sisi bidang kehidupan, salah satunya adalah dunia pendidikan yaitu UN contohnya. Menteri pendidikan Nadiem Makarim memang sudah mengatakan bahwa UN sudah tidak akan dilakukan lagi atau dihapus, tetapi bukan sekarang melainkan tahun 2021. Kalau virus corona atau Covid-19 menyerang manusia selalu didahului dengan masa inkubasi, yaitu masa mulai seseorang terpapar virus corona sampai pada menimbulkan gejala yaitu sekitar 2-14 hari. Tetapi lain halnya dengan Covid-19 menyerang UN dan akhirnya “mati Mendadak”. Sejak Indonesia terpapar Cocid-19 yaitu tepatnya sejak menteri pendidikan nasional mengeluarkan surat edaran nomor 4 tahun 2020 tentang pelaksanaan kebijakan pendidikan dalam masa darurat penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19). Dalam surat edaran tersebut dikatakan bahwa berkenaan dengan penyebaran Covid-19 yang semakin meningkat maka kesehatan lahir dan bathin siswa, guru, kepala sekolah dan seluruh warga sekolah menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan pendidikan. Maka sehubungan dengan hal tersebut disampaikan antara lain bahwa UN tahun 2020 dibatalkan, termasuk uji kompetensi keahlian bagi sekolah menengah kejuruan. Dengan dibatalkannya UN tahun 2020 maka keikutsertaan UN tidak menjadi syarat kelulusan atau seleksi masuk perguaruan tinggi. Menteri pendidikan nasional Nadiem Makarim sudah memutuskan bahwa untuk menggantikan UN yang telah dihapus akan diganti dengan konsep Asesment Kompetensi Minimal (AKM) dan survei karakter. Konsep ini merupakan penyederhanaan dari ujian nasional yang begitu kompleks. Konsep yang digunakan adalah asesmen yang mengukur kemampuan minimal yang dibutuhkan para siswi. Materi yang dinilai adalah literasi dan numerasi. Konsep asesmen kompetensi pengganti ujian nasional itu bukan lagi berdasarkan mata pelajaran maupun berdasarkan penguasaan konten atau materi. Survei karakter digunakan untuk mengetahui karakter anak di sekolah seperti bagaimana implementasi gotong-royong, apakah level toleransinya sehat, apakah well-being atau kebahagiaan anak itu sudah mapan, apakah ada bullying terjadi. Survei karakter juga untuk menjadi tolok ukur supaya sekolah-sekolah memberikan umpan balik bagi kegiatan pembelajarannya. Asesmen dan survei karakter tersebut akan dilaksanakan pada pertengahan jenjang satuan pembelajaran. Sementara ujian nasional selama ini berada di akhir jenjang. Ada dua alasan mengapa hal ini dilakukan; 1) adalah untuk memberikan waktu bagi sekolah dan para guru melakukan perbaikan sebelum sang anak lulus serta, 2) karena dilakukan di tengah jenjang tidak lagi menimbulkan stres bagi anak-anak dan orang tua karena formatif asesmennya. Tentunya kita berharap bahwa konsep baru ini akan berjalan baik dan berdampak signifikan bagi peningkatan komptensi siswa dan tenaga pendidik. Akan langgeng dan tidak “mati mendadak” atau “mati muda” seperti UN.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *