Negasi Di Tengah Pandemic, Dari Pusat hingga Daerah.

Oleh :
Didi Muliadin
(Ketua Badko HMI Nusra 2018-2020)

Sampai saat ini Perkembangan covid-19 masih saja menunjukkan grafik yang tidak membuat kita legah hati dan membuat pikiran tenang sebab selalu saja ada kabar berita resmi dari pemerintah pusat maupun pemerintah Daerah di media cetak maupun media elektronik mengenai korba virus Corona. Di Provinsi NTB sendiri memiliki data jumlah yang terkena/positif covid-19 terhitung tidaklah sedikit, dalam rilis resmi pemerintah provinsi menujukan informasi terkait perkembangan korban yang berjatuhan akibat ganasnya covid-19 yang terjadi di seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi NTB selalu saja ada dan bertambah, itu merupakan data valid yang memiliki legalitas kuat sehingga susah untuk dibantah meski di sisi lain angka kesembuhanpun ada, namun tidak begitu banyak dan signifikan.

Langkah Penangan dan pencegahan masih terus di lakukan namun di sisi lain Pemerintah Pusat maupun Daerah terus berupaya melakukan langkah kebijakan ekonomi dalam proses menutupi lumpuhnya aktifitas ekonomi baik oleh pemerintah maupun masyarakat sehingga pemerintah pusat dan daerah terus melakukan harmonisasi dalam proses menyalurkan bantuan kepada masyarakat terutama sektor kebijakan dan mekanismenya.

Menariknya Pemerintah Daerah juga melakukan akselerasi atau inovasi dalam proses penentuan komposisi bantuan salah satu contoh Pemerintah Provinsi NTB mengeluarkan kebijakan paket sembako yang bertajuk “JPS Gemilang”, paket sembako tersebut merupakan produk UKM dari hasil pengelolaan masyarakat lokal asli hasil alam NTB, ditambah dengan beberapa batuan pemerintah pusat yang telah dan/atau masih dalam proses menuju implementasinya hingga sampai hari ini masih terkendala validasi data dan kebijakan yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

Namun ada sisi yang sangat saya soroti sekaligus di sayangkan dari pemerintah yaitu proses pencegahan, saya menilai pemerintah gagal mentransformasikan semangat dan kebijakan pencegahan penyebaran Virus Corona, terutama yang berkaitan dengan aktifitas atau perilaku sosial masyarakat, pemerintah tidak mampu melakukan rekayasa sosial yang didasari oleh kebijakan yang dibuat dirinya sendiri, meminjam istilah hukum semacam terjadi konfik norma, kekosongan norma dan kekaburan norma dalam ranah teoritis dan Praktis yang akan saya uraikan satu-satu.

Pertama Konflik norma , saya melihat pemerintah dalam proses melakukan pencegahan seolah bercorong kepada dua aturan yang berbeda namun dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan contoh kebijakan pelarangan berkumpul atau psycal distancing, kita bisa perhatikan secara real di kelurahan dan desa-desa ketika masjid-masjid mulai di segel serta pelarangan secara keras untuk sholat berjemaah oleh pemerintah namun secara terang-terangan pusat perbelanjaan dan tampat-tempat tongkrongan kelas mewah dibuka dan dibiarkan manusia berkumpul dan melakukan aktifitasnya, hal ini selalu menimbulkan tanda tanya besar oleh kita semua !!!

Kedua Kekosongan Norma, saya melihat pemerintah seolah kehilangan arah dalam proses mengatur atau mempolarisasi aktifitas masyarakat di tengah kondisi pandemic, semacam kekosongan atau tidak ada aturan dan kebijakan sama sekali yang melandasi pemerintah dalam mengambil langkah-langkah teknis pencegahan sehingga tidak tahu harus melakukan apa dan arahnya kemana.

Ketiga kekaburan Norma, Saya melihat Pemerintah seolah kebingungan karna dalam proses melakukan aktifitas pencegahan, pemerintah semacam gagal menafsirkan kebijakan yang dibuatnya sendiri atau justru kebijakan yang dibuat memang tidak jelas sehingga menyebabkan susah untuk di tafsirkan alhasil sering kali cacat bahkan gagal ketika diimplementasikan.

Saya melihat hal tersebut diatas sebagai suatu proses NEGASI yang diartikan secara sederhana yaitu “Kebatalan-Pembatalan atau Peniadaan”, istilah tersebut saya sematkan untuk pemerintah ketika melihat realitas yang terjadi, pada awal penyebaran covid-19 jokowi terlihat begitu ragu-ragu dan masih setengah hati untuk mensikapi fenomena tersebut karna berat mempertimbangkan aspek ekonomi busnis oligarki lingkaran kekuasaan disisi lain kemelaratan dan kemerosotan kehidupan masyarakat semakin menjadi ditengah-tengah egoisme yang dibalut nafsu elitokrasi penguasa, coba kita perhatikan seksama kebijakan dan tindakan pemerintah selalu kontradiksi dan inkonsistensi.

Pemerintah Pusat dibawah Kendali Jokowi yang tidak terkendali dan tidak mengendalikan, jokowi gagal dalam memainkan peran leadershipnya sebagai seorang presiden, sangat terlihat diberbagai momentum penentuan sektor kebijakan strategis misalnya sektor Perhubungan dan Transportasi Nasional dan/atau Transnasional, Sektor transmigrasi dan ketenagakerjaan contohnya TKA luar negeri asal China masih bisa terbang masuk ke Indonesia dengan jumlah yang cukup banyak, kemudian secara nasional jokowi melarang mudik namun memberlakukan pulang kampung, kemudian baru-baru ini kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang sangat menuai kontroversi karna sebelumnya Mahkama Agung telah memgeluarkan keputusan membatalkan kenaikan iuran BPJS, posisi masyarakat benar-benar diberikan kebahagiaan yang ilusi atau semu, bukankah ini sesuatu hal yang Negasi yaitu realitas yang terjadi sesungguhnya ilsusi dibalik agenda-agenda real yang tidak dimunculkan dipublik, memberikan bantuan berupa uang tunai namun disisi lain uang diambil kembali lewat beban iuran yang berlabel jaminan kesehatan dan banyak lagi hal lainnya yang serupa.

Jokowi di setiap jumpa pers dalam menyampaikan pidato kenegaraannya lebih sering terlihat sendiri sehingga hal tersebut menunjukkan ketidak kompakan dan hilangnya Marwah dia sebagai seorang presiden, belum lagi ditambah koordinasi dan komunikasi yang tidak struktural dan tidak sistematis antara jokowi dengan jajaran kementerian serta para pembantu kerja jokowi dalam ruang lingkup pemerintah pusat secara umum.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *