PANDEMIK MEDSOS-RIAN; Hiperrealitas Atas Narasi Ruang Publik Bima

 Oleh ; Mak’ruf, M.Si / Chery

Suasana sosiologis media hari-hari ini cukup menggelitik akal dan pikiran, mengingat bermunculan narasi lewat status Facebook, Wattsap kadang kala melampaui batas sewajarnya sebagai pengguna media untuk alat membagikan informasi dan mencari refrensi atas kondisi ruang sosio-publik dalam taraf regional, lokal ke-Bima’an. Narasi yang dibangun seakan-akan tidak mencerminkan adat istiadat ketimuran lebih-lebih mencerminkan individu yang saleh. Antara lain penggalan status dibeberapa akun facebook yang berinisial; DL, AM, WP, MS, JL dan JM “…Tufeek, PKI tujuh keturunan, anak ajing dan anak babi”.

Penulis sebagai individu yang haus akan informasi dan refrensi lewat media sosial (medsos) cukup memperhatikan atas narasi-narasi yang tiap detik berputar di ruang publik Kabupaten Bima, Kota Bima. Secara langsung narasi semacam itu kurang elok dikonsumsi, kata lain hal semacam itu mencerminkan privasi individu tersebut. Mengingat masyarakat Kabupaten Bima, Kota Bima banyak menghabiskan waktu di medsos dalam kondisi, ‘sosial distencing’ akibat Pandemik Covid 19 ini. Artinya penulis mengajak untuk sama-sama menjaga dieletika ruang publik. Sebab di media sosial (medsos) narasi semacam itu akan dikonsumsi oleh semua individu baik yang tua maupun anak-anak, yang kemudian hal itu mengganggu sikologis perkembangan otak generasi muda.

Kontekstualisasi perkembangan atas narasi publik di Kabupaten Bima, Kota Bima distingsi narasi minimal memiliki makna dialetika yang mengandung nilai informasi, normatif dan edukatif. Agar supaya bagai mana para medsos-rian tidak terjebak pada apa yang disebut dengan istilah “Hiperrealitas” yaitu; konsep yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard. Sebuah konsep di mana realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan tanda-tanda yang melampaui realitas aslinya (Hyper-sign).

Sebab hiperrealitas menciptakan suatu kondisi di mana kepalsuan bersatu dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Hiperrealitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah simulasi bagi penikmatnya (Simulacrum) dalam hal ini penulis menjaga narasi positif pada ruang publik. Lebih-lebih bagi anak-anak.

Simulasi adalah suatu proses di mana representasi (gambaran) atas dasar tanda-tanda realitas (sign of reality), di mana tanda-tanda tersebut justru menggantikan objek itu sendiri, di mana representasi itu menjadi hal yang lebih penting dibandingkan objek tersebut. Simulasi hadir bukan untuk melukiskan realitas yang diwakilkannya, tetapi penikmatnya hadir hanya untuk mengacu pada dirinya sendiri dan melampaui realitas aslinya.

Dalam penjelasannya, seperti pada kondisi masyarakat Kabupaten Bima, Kota Bima saat ini, media mempunyai suatu peranan penting dalam penyebaran realitas, di mana penyebaran tersebut akan diserap oleh konsumen media (masyarakat). Kemudian masyarakat tersebut menerima informasi dan setelah itu menyerapnya. Hal ini membuat masyarakat menganggap bahwa informasi tersebut sebagai suatu kebenaran, yang pada hal informasi tersebut hanyalah sebuah realitas semu.

Penulis sedikit tahu; bahwa individu perpikir menggunakan akal, memaksimalkan korehensi dalam pikirannya untuk menghindari kontradiksi dalam logika. Sekiranya atas narasi yang tidak memiliki nilai edukatif semacam itu adalah pilihan sebagai teknik pemasaran, lalu apa bedanya pribadi penulis ini yang mengaku sebagai individu yang memiliki gelar akademis dengan individu-individu awam. Apa lagi sudah mendaulati pribadi sebagai aktivis yang terdidik dengan konstitusi organisatoris, dengan simbol-simbol organisasi dan nama akun di medsos-pun mencirikan warna organisasi.

Dari titik ini, Baudrillard, menggunakan istilah simulacrum yang merupakan cara pemenuhan kebutuhan masyarakat kontemporer akan sebuah tanda, yang pada artinya suatu realitas itu sengaja diciptakan untuk menggambarkan suatu realitas, akan tetapi realitas yang sesungguhnya mungkin tidak ada, di mana objek realitas itu sudah tidak berfungsi lagi sebagai tanda, sehingga dapat dikatakan bahwa realitas palsu itu dianggap sebagai realitas yang sesungguhnya karena mayarakat saat ini telah hidup di era postmodern, bukan lagi era modernitas, dan ini ditandai dengan adanya beragam simulasi.

Proses simulasi ini mengarah pada simulacra. Simulacra adalah ruang di mana mekanisme simulasi berlangsung. Merujuk pada teori Baudrillard, terdapat tiga tingkatan simulacra;
Pertama, simulacra yang berlangsung semenjak era Renaisans hingga permulaan Revolusi Industri. Simulacra pada tingkatan ini merupakan representasi dari relasi alamiah berbagai unsur kehidupan. Kedua, simulacra yang berlangsung seiring dengan perkembangan era industrialisasi. Pada tingkatan ini, telah terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat dampak negatif industrialisasi. Ketiga, simulacra yang lahir sebagai konsekuensi berkembangnya ilmu dan teknologi informasi. Pada poin terakhir ini penulis melihat para individu sebagai penikmat medsos-rian terjebak pada istilah Post-Truth. Dalam wacana simulasi, individu mendiami ruang realitas, di mana perbedaan antara yang nyata dan yang semu, yang asli dan yang palsu sangat tipis.

Umberto Eco, mencontohkan hiperrealitas ini ketika ia mengunjungi Amerika dan sekan-akan mengejek bahwa dengan teknologi semua bisa dikendalikan. Disneyland, mengatakan bahwa “…Teknologi dapat memberi kita realitas dibandingkan dengan alam yang sesungguhnya”. Inilah ruang yang tidak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi semuanya lebur menjadi satu dalam silang-sengkarut tanda. Kesatuan inilah yang disebut Baudrillard sebagai simulacra atau simulacrum, sebuah dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Proses simulasi ini kemudian mendorong lahirnya term ‘hiperrealitas’,

“Penuhi Otak Anda Dengan Metodelogi Yang Tajam, Agar Supaya Tidak Terbawah Arus Di Era Post-Truth”..!!!

Refrensi; Baudrillard, Jean, Simulacra and Simulation (Terjemahan Sheila Faria Glaser), Michigan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *