Jangan Sia – Siakan Garam !!!

Oleh :
Khairuddin Juraid
Korwil Bapilu NTB 1 DPP PARTAI GOLKAR

Mendengar kata Liverpool dan Munich, sepintas pikiran kita akan tertuju pada sepakbola. Kedua kota ini merupakan pemilik klub sepakbola terkenal sejagat. Bahkan untuk kota munich–sang pemilik klub Bayern Muenchen— langganan juara liga Jerman, nyaris tanpa pesaing. Hingga muncul anekdot, Bayern Muenchen juara sebelum pertandingan.

Tapi tidak banyak yang tahu bahwa kemajuan dan peradaban kedua kota ini dimulai dari garam. Munich dibawah kepemimpinan Heinrich Deir Lowe 1130-1195, tumbuh menjadi kota yang maju karena kebijakan pajak atas lalu lintas perdagangan (garam).

Hal yang sama juga dialami Liverpool, sejak ditemukannya garam di Chesire pada akhir abad 17. Garam merupakan komiditi favorit yang meramaikan perdagangan di pelabuhan Liverpool.

Namun, garam tidak hanya menampilkan kisah sukses membangun peradaban, tapi juga memicu konflik dan pergolakan hingga peperangan. Pemberontakan Perugia atas takhta suci abad 16 M akibat kebijakan pajak yang diberlakukan Paus Paulus III terhadap masyarakat Perugia.

Cerita serupa terjadi saat Mahatma Gandhi memimpin long march 12 Maret 1930 beserta 79 pengikutnya. Melakukan protes kepada pemerintahan Inggris atas kebijakan monopoli dan pajak garam. Peristiwa ini kelak mengilhami lahirnya konsep Satyagraha (gerakan tanpa kekerasan).

Garam juga mengakibatkan peperangan di benua Amerika. Tepatnya di kota Texas abad ke 19,terjadi peristiwa yang dikenal dengan perang garam El Paso. Disini, faktornya akibat perebutan lahan kepemilikan atas danau garam di pegunungan Guadalope.

Masyarakat nusantara mengenal garam sudah cukup lama. Sejak zaman Majapahit. Hal ini terlihat dari prasasti Biluluk 1, 2 & 3 yang ditemukan di Lamongan, Jawa Timur itu menyinggung masalah garam (pembuatan dan pajaknya). Hingga orang Belanda tiba di nusantara menyaksikan bahwa garam merupakan bahan baku untuk mengolah makanan. Hanya beberapa daerah yang belum mengenal garam, seperti di Papua dan sebagian kecil Kalimantan. Sehingga ada pepatah ” bagaikan sayur tanpa garam”.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *