Garam Bima, Tidak di Sia-Siakan

Oleh : Khairuddin Juraid
Korwil Bapilu NTB 1 DPP PARTAI GOLKAR

Cerita garam di negeri para Ncuhi ini, terekam sejak tahun 1840. Itulah kesaksian Heinrich Zollinger, seorang ahli botani berkebangsaan Swiss. Pendaki pertama Gunung Tambora setelah erupsi besar 1847. Indonesianis yang mencurahkan sebagian masa hidupnya untuk melakukan berbagai penelitian di nusantara. Hingga akhirnya meninggal usia muda, akibat malaria tahun 1859 di Kandangan Kalimantan Selatan.

Kesaksiannya dituangkan dalam laporan yang dikutip Buku _Atlas Pelabuhan Pelabuhan Bersejarah di Indonesia_, “Bima merupakan daerah pengekspor garam— kacang hijau,beras dan teripang ke Dompu, Manggarai dan Selayar —yang diproduksi oleh penduduk sekitar pantai”.

Memiliki kelebihan alam yang menopang produksi garam. Dikelilingi laut dengan garis pantai sepanjang 446 km. Cuaca dan iklim panas yang cukup lama, menjadikannya salah satu daerah penghasil garam. Inilah berkah alam dari Allah untuk tanah yang dikenal dengan motto *“Maja Labo Dahu”*.

Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan, terdapat 4.675 ha lahan garam di Kab Bima. Lahan eksisting yang sudah dimanfaatkan 1.778 ha. Melibatkan 3.725 orang petani yang tersebar di 5 kecamatan.

Sisanya 2.897 ha lahan potensial yang belum dimanfaatkan untuk eksentifikasi. Dari sisi lahan— yang dimanfaatkan dan potensi lahan—Kab. Bima memiliki areal lahan terbesar di Provinsi NTB.

Namun ketersediaan lahan besar, belum seiring dengan kapasitas produksi dan kualitas garam yang dihasilkan. Tercatat setiap tahunnya produksi garam Bima mengalami pasang surut, seakan mengikuti sumbernya air laut. Tahun 2018 sebanyak 139.102 ton, kemudian pada tahun 2019 mengalami kenaikan 140.075 ton dan pada tahun 2020 kembali mengalami penurunan sebanyak 138.413 ton.

Secara kualitas juga belum maksimal. Tahun 2020 garam Kw1 : 18%, Kw2: 79% dan Kw3 sebanyak 3%. Pada tahun 2017,Kw1:5%, Kw2: 70% dan Kw3 : 26%. Memang terjadi peningkatan jumlah garam berkualitas industri, akan tetapi belum signifikan, dibandingkan jumlah total produksi.

Ini mengonfirmasi hasil penelitian yang dilakukan oleh _Agripina Wiraningtyas dkk (2017)_” bahwa sistem penggaraman yang dilakukan petani di Desa Sanolo Kecamatan Bolo yaitu menggunakan kristalisasi total, belum menghasilkan garam berkualitas. Kadar NaCl nya masih dibawah 90%. Juga mengandung logam berat yang mengotori sehingga tidak bisa memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI)”. Akibatnya, daya serap pasar terhadap garam Bima masih rendah.

Pemerintah Kabupaten Bima telah melakukan berbagai langkah dan upaya untuk meningkatkan produksi dan kualitas garam. Mulai dari penguatan kelembagaan melalui pelatihan dan pendampingan. Perbaikan produksi dengan menggunakan geoisolator, penyediaan sarana gudang, pembuatan braine tank, irigasi dan akses jalan produksi. Bantuan permodalan berupa pinjaman lunak dan Kredit Usaha Rakyat. Membuka akses pasar melalui kerjasama dengan perusahaan nasional dan importir untuk menyerap garam lokal, serta meminta dukungan pemerintah pusat melalui alokasi anggaran.

Langkah lain yang sedang diupayakan pemerintah Kab Bima adalah melobby pemerintah provinsi mengeluarkan kebijakan afirmatif penyerapan garam rakyat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat NTB. Sebab, hingga tahun 2019, Provinsi NTB masih mendatangkan 18 ribu ton garam dari Surabaya.

Beberapa ikhtiar tersebut sudah menunjukkan hasil, namun belum maksimal. Atas dasar itulah, pada periode kedua kepemimpinanya ini, Hj indah Dhamayanti Putri dan Drs. H Dahlan M Noer selaku Bupati dan Wakil Bupati mencanangkan GARAM sebagai salah satu komoditi Unggulan Prioritas.

Program ini sudah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Menengah Daerah (RPJMD) 2021-2026, yang selaras dengan kebijakan pemerintah pusat dan Industrialisasi NTB. Rencana besar nan mulia tersebut akan diwujudkan melalui _Teknologi Microculture_, kita tidak akan sia-sia kan garam, ucap Bupati Perempuan Pertama NTB.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *