Kebijakan Buruk Ditengah Pandemi dan Potensi Presiden Ambruk.
Oleh David Putrat Alfatih
Akvis HMI UNRAM
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dikeluarkan oleh pemerintah menuai kritikan dari berbagai pihak, terutama masyarakat yang merasakan langsung dampak dari PPKM tersebut. Bukan hanya itu, Instruksi Menteri Dalam Negeri yang menjadi dasar pemberlakuan PPKM dinilai cacat dan tidak punya legitimasi hukum yang jelas (inkonstitusional) karna bertolak belakang dengan Undang Undang Dasar 1945.
Negara Hukum
Indonesia adalah Negara Hukum, ini termaktub dalam Pasal 1, ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Artinya, hukum memposisikan manusia sebagai subjek pelaksanaan kebijkaan hukum untuk mencapai tujuan hukum. Semenjak diterpa badai pandemi Covid 19, penyelenggaraan pemerintahan terkesan absurd dan amburadul. Hal ini ditandai dengan aturan hukum yang bertentangan satu sama lain.
Salah satunya, kebijakan mengenai status kedarutatan seharusnya di keluarkan oleh pemerintah pusat, yakni Presiden yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri Kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 10, ayat (1) UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Namun, dalam penerapannya, PKKM didasari pada Instruksi Menteri Dalam Negeri (IMENDAGRI) No. 15 dan 17 Tahun 2021. Instruksi itu, tidak memiliki landasan hukum, bahkan, terkesan problematis, sebab landasan IMENDAGRI No. 15 Tahun 2021 ialah arahan Presiden. Dengan dikeluarkannya arahan itu, Presiden seakan tidak memahami, bahkan cenderung menyimpangi, bahwa dalam hal pemberlakuan Kekarantinaan Kesehatan dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri Kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1, angka 33 dan 35 UU No. 6/2018.
Jika mengacu pada UU Kekarantinaan Kesehatan, Menteri Dalam Negeri tidak berkewenangan untuk mengeluarkan kebijakan yang berkenaan dengan kondisi penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Seharusnya kebijakan tersebut dikeluarkan oleh Presiden atau Wakil Presiden dengan bantuan Menteri Kesehatan.
Konstitusionalitas Penanganan Pandemi
Pasal 28A UUD 1945 Berbunyi “Setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” pasal ini mendudukan hak konstitusional warga negara dalam mempertahankan kelangsungan kehidupan. Negara harus hadir sebagai pelindung bagi segenap warga negaranya. Terlebih, dalam kondisi pandemi.
Dalam mengatasi kondisi Kedaruratan Kesehatan, UU No 06/2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan telah jelas mengatur penanganannya, yakni pada Pasal 55, ayat (1) UU No 06/2018, yaitu:
“(1) Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.”
Ditengah kondisi Kedaruratan Kesehatan, Pemerintah tidak secara tegas memberlakukan UU No. 06/2018 dalam penanganannya. Penanganan atas kondisi kedaruratan justru didasarkan pada INMENDAGRI No. 15 & 17 Tahun 2021. Dalam hal ini, pemerintah seakan sengaja menggunakan instruksi Menteri guna melepas tanggung jawab pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.
Padahal, dalam Pasal 7A UU No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kedudukan UU itu lebih tinggi dibanding Intruksi Menteri. Penggunaan INMENDAGRI sebagai dasar penanganan kondisi Kedaruratan Kesehatan jelas telah menyalahi hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Pemerintah seharusnya menggunakan instrumen hukum yang telah tersedia dalam menangani kondisi Kedaruratan Kesehatan, yakni UU No. 06/2018.
Undang-Undang ini sempat di terapkan melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Pasal 59. Sementara Keberadaan intruksi Mendagri dengan aturan PPKM, tidak ditemukan nomenklaturnya dalam UU tersebut.
Anehnya, meski INMEDAGRI yang menjadi dasar pemberlakuan PPKM tidak memuat ketentuan pidana, namun para pelanggar PPKM dapat dijerat pidana. Pemidanaan terhadap pelanggar PPKM didasarkan pada UU Tentang Wabah Penyakit Menular, UU Tentang Kekarantinaan Kesehatan, serta Peraturan Daerah Tentang Ketertiban Umum. Ini jelas problematis, sebab pemberlakuan PPKM tidak didasarkan pada satupun dari Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan diatas, sehingga pemerintah tidak seharusnya memberlakukan pemidanaan terhadap para pelanggar PPKM dengan instrumen hukum diatas. Pemerintah telah secara serampangan menggunakan instrumen hukum untuk memidanakan masyarakat.
Istilah PPKM ini sebenarnya hampir sama dengan karantina wilayah, namun pemerintah enggan mengakuinya, agar terhindar dari kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Maka menjawab problem istilah PPKM dengan kondisi darurat ialah dengan UU dan kebijakan kepala negara dalam hal ini presiden untuk menyampaikan kondisi kedaruratan dengan dasar hukum yang jelas, yakni UU Kekarantinaan Kesehatan. Sehingga ketentuan dalam UU kekarantinaan kesehataan bisa di diberlakukan. Pemerintah seharusnya memperhatikan instrumen hukum dalam membuat kebijakan, sebab segala tindakan yang tidak didasari Peraturan Perundang-Undangan dapat dianggap tidak sah dan dapat digugat.
PPKM: Sebuah Kebijakan Dehumanistis
Hak asasi manusia merupakan kristalisasi berbagai sistem nilai dan filsafat tentang manusia dan seluruh aspek kehidupannya. Fokus utama dari hak asasi manusia adalah kehidupan dan martabat manusia. Martabat manusia akan terganggu ketika mereka menjadi korban penyiksaan, menjadi korban perbudakan atau pemiskinan, termasuk jika hidup tanpa kecukupan pangan, sandang dan perumahan.
Pembatas atas hak asasi manusia hanya dapat dilakukan melalui dua instrumen, yakni Undang-Undang dan Putusan Pengadilan. Dalam pelaksanaannya, PPKM yang didasari INMEDAGRI membatasi ruang bagi masyarakat dalam bekerja dan memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupannya. Ini jelas bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, dan hak-hak konstitusional sebagaimana diatur dalam pasal 27 (2) dan 28A UUD 1945. Maka, PPKM telah jelas inkonstitusional dan secara nyata melanggar hak asasi manusia.
INMEDAGRI yang menjadi dasar PPKM dikeluarkan berdasarkan arahan Presiden, sehingga pertanggung jawaban atas inkonstitusionalitas dan pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan PPKM hendaknya diarahkan terhadap Presiden.
Dalam taraf ini, DPR harusnya mengajukan usul pemakzulan Presiden terhadap Mahkamah Konstitusi untuk kemudian diputuskan dalam sidang paripurna MPR, sebab Presiden, melalui arahannya, telah melanggar hak konstitusional dan hak asasi manusia dari warga negara.