Oleh : Nuranisa A. Hakim (Mahasiswi Fisipol Universitas Muhammadiyah Malang)
Maraknya isu “Kekerasan terhadap Perempuan” menjadi serangkaian peristiwa yang populer dalam beberapa hari terakhir di Indonesia. Sangat ironis, ditengah masyarakat yang beradab katanya karena dibangun atas prinsip rasionalitas, demokrasi, dan humanisme yang secara teori harusnya mampu menekan tindak kekerasan, namun faktanya kekerasan terhadap perempuan seolah menjadi trend baru bagi kalangan pelaku yang unjuk diri dalam memamerkan sifat superiornya.
Hari ini, kita menyaksikan dengan jelas tindakan kriminalitas, kerusuhan, degradasi moral, pemerkosaan, penganiayaan, pelecehan seksual dan segala tindak kekerasan lainnya baik itu verbal maupun non verbal yang seluruhnya adalah budaya kekerasan. Komnas Perempuan mencatat bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Kekerasan terhadap perempuan saat ini diakui sebagai masalah pelanggaran hak asasi manusia.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan, jenis kekerasan terhadap perempuan tercatat kasus yang paling menonjol berada diranah personal atau disebut KDRT sebanyak 79% (6.480 kasus). Di antaranyaa terdapat kekerasan terhadap istri menduduki posisi pertama sebanyak 3.221 kasus (50%), disusul kekerasan dalam pacaraan 1.039 kasus (20%) sebagai posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (15%), kemudian sisanya adalah kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Kekerasan pada ranah personal ini berbentuk kekerasan fisik sebanyak 2.025 kasus (31%), kemudian diikuti oleh kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 kasus ( 28%), dan ekonomi 680 kasus (10%). Kekerasan berikutnya berada pada ranah publik atau komunitas sebesr 21% (1.731 kasus) dengan kasus yang paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%), pemerkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus.
Miris memang, perempuan selalu menjadi yang paling rentan terhadap berbagai bentuk tindak kekerasan entah itu diranah publik maupun diranah domestik yang menimbulkan tanda tanya besar mengapa hal tersebut terus terjadi secara berulang dan semakin sadis disetiap harinya. Perempuan yang seharusnya menjadi patner dalam kehidupan kini mengalami nasib buruk dan hidup dalam ruang yang terbatas karena haknya untuk bisa hidup aman dan bebas dari rasa takut seolah diabaikan begitu saja.
Dalam pandangan feminis, kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan berbasis gender. Pernyataan tersebut bukan muncul tanpa sebab, karena selama ini kekerasan yang dirasakan oleh perempuan merupakan hasil bentukan interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi budaya patriarki.
Kekerasan terhadap perempuan terjadi karena masih melekat dalam keyakinan masyarakat budaya dominasi, dimana laki-laki adalah makhluk superior dan perempuan adalah kebalikannya (inferior) sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal tersebut juga menjadikan perempuan tersubordinasi bahkan termarginalisasi.
Disamping itu, masih ada interpretasi yang keliru terhadap sterotipi gender yang tersosialisasi dalam masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, sedangkan laki-laki diidentikan sebagai sosok yang lebih kuat. Perempuan digambarkan sebagai sosok penggoda yang meruntuhkan iman laki-laki, sehingga hal tersebut seolah dijadikan pembenaran bahwa perempuan adalah objek seks bagi laki-laki. Upaya domestikasi terhadap perempuan secara sistematis yang dilakukan oleh negara berdasarkan ideologi dan gender dalam kebijakan-kebijakannya berdampak pada terpinggirnya perempuan dalam sektor kehidupan, entah itu ekonomi, politik, sosial dan budaya, yang pada akhirnya menimbulkan subordinasi, eksploitasi dan privatisasi kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya merupakan bentuk diskriminasi gender sehingga menghalangi perempuan untuk memperoleh hak dan kebebasannya dalam hidup bersosial.
Fenomena kekerasan terhadap perempuan menjadi peristiwa yang melatarbelakangi adanya Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (UN Convention on the Elimination of All From of Discrimination againts Women) atau disingkat CEDAW pada tahun 1979. Pada tahun 1981 CEDAW mulai berlaku yang kemudian diratifikasi oleh banyak negara sebagai upaya untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan menjadikannya sebagai bagian dari kewajiban legal. Di Indonesia sendiri CEDAW diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Perempuan seolah menjadi objek pengebirian dan pelecehan hak-haknya. Perempuan dibuat tidak berdaya untuk menghadapi berbagai sistem nilai yang terus menempatkannya pada posisi yang tersalahkan. Norma kesusilaan yang seharusnya dijaga kesuciannya kini sedang dikoyak dan dinodai oleh naluri buas para predator yang terselamatkan lantaran punya kuasa dan jabatan. Kekerasan, pelecehan, pemerkosaan, dan eksploitasi seksual, bukan hanya menimpa perempuan dewasa, bahkan anak usia belia menjadi korban kejamnya dunia terhadap hidup perempuan. Kejahatan seksual hari ini seolah tidak mengenal tempat, dilingkungan perusahaan, perkantoran, pendidikan atau tempat lainnya seolah menjadi ruang yang tidak aman bagi perempuan untuk berani melangkah kedepan.
Pada mulanya kekerasan seksual tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui proses pelecehan yang selalu dianggap sesuatu yang wajar-wajar saja dan dinilai sebagai salah satu kenakalan laki-laki, namun akibatnya tindakan tersebut justru merugikan perempuan, tidak heran banyak perempuan yang mengalami depresi, trauma mendalam dan pada akhirnya memilih mati dengan beragam tindakan seperti gantung diri, meminum racun, dan bermacam tindakan ekstream lainnya, namun kenyataan pahitnya orang-orang seolah tidak perduli, para korban tetap saja disalahkan dengan dalih tidak bisa menjaga auratnya, keluyuran malam-malam, bergaul dengan banyak lelaki, zina dan lain sebagainya. Perempuan dipaksa hidup dalam kewaspadaan terhadap tindakan asusila lelaki yang memaksa perempuan menjadi objek dan pemuas nafsunya.
Beberapa contoh kasus dapat menujukan lemahnya hukum yang diberikan kepada para pelaku kekerasan seksual di Indonesia. Seperti baru-baru ini tindakan kekerasan terhadap perempuan kembali terjadi. Peristiwa kali ini melibatkan oknum aparat polisi dengan kekasihnya seorang mahasiswi. Berdasarkan berita yang beredar perempuan tersebut telah diperkosa hingga hamil, namun pelaku tidak mau bertanggung jawab atas kehamilan korban dan justru menyuruh korban untuk melakukan aborsi sebanyak dua kali. Bahkan keluarga aparat polisi tersebut ikut terlibat dalam kasus anaknya, keluarganya dinilai membela anaknya yang jelas-jelas salah.
Tentunya perlakukan aparat tersebut dan keluarganya membuat sang kekasih kecewa atas sikapnya yang tidak mau bertanggung jawab, sehingga pada akhirnya akibat kekerasan seksual yang dialami oleh korban membuatnya depresi dan memilih mati dengan meminum racun sianida disamping makam sang Ayah pada 2 Desember 2021. Kasus tersebut meninggkan luka yang mendalam bagi keluarga korban, karena harus kehilangan anak yang dicintainya dan terlebih pelaku pemerkosa hanya dijatuhi hukuman kurungan penjara dalam kurun waktu 5 tahun saja.
Kasus lainnya pun kembali menjadi sorotan, kasus kekerasan seksual kembali terjadi pada salah satu pesantren di Kota Bandung, Jawa Barat. Kasus ini melibatkan pendidik atau guru yang melakukan tindakan pemerkosaan terhadap 14 (empat belas) orang santri perempuannya. Akibat tindakan pendidik tersebut mengakibatkan beberapa dari korban hamil dan melahirkan. Tidak sampai disitu saja, kasus pelecehan seksual terhadap perempuan kembali terjadi dan menimpa seorang ibu muda yang berusia 19 tahun. Ibu muda tersebut diperkosa oleh 4 (empat) orang pria di Desa Mahato, Kecematan Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Tidak hanya menjadi korban pemerkosaan, ibu muda tersebut juga diancam oleh keempat pelaku dengan menggunakan senjata tajam berupa pisau dan senjata api.
Pemerintah Indonesia dirasa kurang memberikan dukungan dan perhatian yang lebih bagi perlindungan hak-hak perempuan baik diranah publik maupun beratnya hukuman pelaku kejahatan terhadap perempuan. Selain itu, masyarakat juga kiranya perlu merubah pola pikir dalam menyikapi kasus kekerasan seksual. Alih-alih menyalahkan pelaku, korban cenderung disalahkan. Apapun alasanya perempuan tidak boleh dilecehkan ataupun diperkosan dan beragam tindak kejahatan lainnya. Korban seharusnya diberi dukungan dan perlindungan agar bisa hidup dengan normal bukan dikutuk atau diolok-olok.
Seperti yang pernah terlontar oleh Fauzi Bowo yang kala itu menjabat sebagai gubenur Jakarta pada 2011 silam. Saat itu marak terjadi pemerkosaan diangkutan umum. Fauzi Bowo mengutarakan bahwa perempuan seharusnya tidak menggunakan rok mini jika naik angkot, karena hal tersebut akan merangsang birahi supir maupun penumpang laki-laki. Meskipun Fauzi Bowo kala itu sudah meminta maaf atas ucapannya, ucapan yang dilontarkannya menjadi contoh pemikiran mayoritas masyarakat di negeri ini yang sering mendiskreditkan perempuan, padahal mau berpakaian terbuka atau tertutup sekalipun perempuan tetap menjadi objek kekerasan seksual.
Begitu banyak tindak kekerasan dalam bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM yang telah disepakati dalam konferensi hak asasi manusia di Wina pada tahun 1993. Dari banyak peristiwa yang terungkap perempuan penyintas pelecehan seksual hidup dilanda rasa ketakutan dan trauma yang mendalam dan berdampak pada gangguan psikologis. Sehingga tidak heran bila banyak dari mereka yang melakukan aksi bunuh diri lantaran tidak mendapatkan keadilan terhadap kasus yang menimpa dirinya.
Pelecehan seksual sangat merugikan perempuan baik secara fisik maupun psikis dan juga merusak martabat dan marwah perempuan. Kasus pelecehan seksual masih diidentikan dengan moralitas, tidak dilihat dari unsur kejahatan pelanggaran HAM, padahal ini berkaitan dengan martabat kemanusian. Maka dari itu sebagai Negara yang baik Indonesia perlu menyediakan ruang yang aman bagi perempuan, kejelasan payung hukum yang melindungi para korban, dan sanksi yang berat bagi pelaku kejahatan, karena hari ini Indonesia mengalami darurat kekerasan dan perlindungan korban kekerasan terhadap perempuan.