Analogi “Suara Adzan Dan Suara Anjing”, MENAG Yaqut Menimbulkan Luka Baru Umat Islam Indonesia

Oleh : Sahril Ramadan (Aktivist HMI)

Dewasa ini isu SARA selalu saja menjadi perbincangan hangat yang tak pernah usai. Keberadaan SARA selalu saja menimbulkan konflik baru pada batang tubuh negara Indonesia, terutama tentang konflik agama. Dalam suatu negara besar, keberadaan Mayoritas selalu bersikap Superior terhadap segala sesuatu dan Minoritas hanya mampu menerima sahaja tanpa mampu memberikan sikap dan mencampuri kebijakan, Indonesia misalnya.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk 273 juta jiwa yang mana 203 juta jiwa beragama islam, memastikan islam menjadi agama yang dianut dan di Imani masyaraka indonesia. jumlah yang sangat banyak yang apabila dipersentasekan itu sebanyak 89%. Kemudian dengan mayoritasnya seharusnya Islam bersikap superior. Namun dari rentetan kasus yang terjadi, islam menjadi agama yang selalu di diskreditkan dan dilecehkan.

KOMINFO mencatat terjadi 62 kasus yang ditangani berhubungan dengan SARA pada tahun 2018, kemudian pada tahun 2020 meningkat menjadi 422 menurut BPS. Kasus–kasus yang bermunculan di dominasi tentang intoleransi. Sebagaimana yang direalis oleh databoks.katada.co.id pada tahun 2021 menyebutkan kasus intoleransi di Indonesia pada tahun 2020 sebanyak 60%.

Beberapa kasus perusakan tempat peribadatan umat islam yang terjadi pada tahun 2020-2021 seperti di bandung, jawa barat, tanjung balai Sumatra utara, Surabaya, minahasa, tanggerang dan beberapa wilayah Indonesia lainnya. Kemudian bermunculannya cuitan–cuitan provokativ yang memicu terjadinya konflik SARA di indonesia, seperti yang dilakukan oleh ferdinan, Appolinaris Darmawan, ade Armando, Muhammad Kece dan beberapa kasus lainnya.

Dengan kondisi islam Indonesia yang mayoritas, kenapa islam selalu dicitrakan sebagai agama yang meresahkan dan kacau.? Hal–hal kontroversi bermunculan tentang islam dan peribadatan umat islam. Beberapa pernyataan–pernyataan yang “nyeleneh” bercuitan di media massa dan online baik itu oleh beberapa public figure dan tokoh – tokoh pemuka agama.

Pada tahun 2021 indonesia dikagetkan dengan pernyataan Muhammad Kece dalam dakwahnya yang mengganti kata Allah menjadi Yesus dalam Salam. Hal tersebut menimbulkan kemarahan bagi umat islam. Kemudian Menteri Agama Republik Indonesia Yaqut Cholil Qoumas yang seharusnya mampu meminimalisir isu intoleransi malah menambah kekecewaan umat islam dengan pernyataan–pernyataannya.

Baru–baru ini (18/02/2022) Menag mengeluarkan kebijakan baru tentang pedoman penggunaan pengeras suara masjid sebagaimana yang tertuang pada Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022. Tujuan pedoman diterbitkan sebagai upaya meningkatkan ketentraman, ketertiban, dan keharmonisan antar warga masyarakat. Hal tersebut merupakan hal yang baik, namun menjadi luka baru bagi umat islam ketika pernyataan yang dikeluarkan oleh Menag Yaqut pada saat diwawancarai tentang surat edaran tersebut mengatakan bahwa “ketika umat muslim yang melaksanakan peribadatan membunyikan Toa sebanyak 5 kali itu rasanya bagaimana, yang lebih sederhana lagi adalah ketika kita hidup dalam satu komplek dimana tetangga kita depan, kiri, kanan, belakang memelihara anjing semua, kemudian menggonggong secara bersamaan kita pasti terganggu”.

Penggunaan analogi yang dilontarkan oleh Menag Yaqut sama halnya mengibaratkan adzan seperti anjing yang menggonggong. Sudah pasti pernyataan tersebut merupakan pelecehan bagi umat islam dan dapat menimbulkan konflik yang sangat besar. Sebagai Menag, Yaqut Cholis semestinya harus lebih bijak lagi dalam menggunakan perumpamaan.

Opini penulis bahwa jika memang suara adzan itu kedengarannya seperti suara anjing menggonggong berarti sumber masalahnya terletak pada kualitas pengeras suara dan kualifikasi muadzinnya, maka menjadi bentuk kelalaian Menag yaqut dalam mengawal penyelenggaraan pemerintahan di bidang agama ketika tidak mampu menuntaskan hal tersebut.

Dikeluarkannya surat edaran tersebut tidak lain untuk mengatur dan mengelola dari penggunaan pengeras suara sampai pada kualifikasi muadzin. Dan menjadi bentuk ketidak becusan Menag Yaqut ketika tidak mampu menginternalisasikan maksut dari surat edaran tersebut.

Jika ditela’ah bersama bahwa konsep toleransi adalah suatu konsep yang mengajarkan manusia untuk saling menghargai perbedaan, lebih–lebih mengenai masalah agama dan peribadaan. Toleransi menjadi suatu konsep yang menata manusia agar hidup rukun dalam satu kesatuan yang majemuk. Di Indonesia sendiri toleransi dijadikan symbol negara. Jika halnya pada tataran kementrian agama saja masih salah dalam memaknai toleransi, maka persoalan konflik tentang intoleransi tidak akan pernah menemukan titik terang di indonesia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *