Politik Identitas dan Ancaman Demokrasi
Penulis: A. Fandir
Lembaga Kepemiluan dan Demokrasi PB PMII Masa Khidmat 2021-2024
Di Indonesia seperti yang kita ketahui telah banyak menganut sistem pemerintahan pada awalnya. Namun, dari semua sistem pemerintahan, yang bertahan mulai dari era reformasi 1998 sampai saat ini adalah sistem pemerintahan demokrasi.
Meskipun masih terdapat beberapa kekurangan dan tantangan disana sini. Sebagian kelompok merasa merdeka dengan diberlakukannya sistem domokrasi di Indonesia. Artinya, kebebasan pers sudah menempati ruang yang sebebas-bebasnya sehingga setiap orang berhak menyampaikan pendapat dan aspirasinya masing-masing.
Demokrasi mencakup kondisi social, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Demokrasi Indonesia dipandang perlu dan sesuai dengan pribadi bangsa Indonesia. Selain itu yang melatar belakangi pemakaian sistem demokrasi di Indonesia.
Baca Juga : Tokoh Masyarakat Lombok Imbau Pilih Caleg Lokal
Hal itu bisa kita temukan dari banyaknya agama yang masuk dan berkembang di Indonesia, selain itu banyaknya suku, budaya dan bahasa, kesemuanya merupakan karunia Tuhan yang patut kita syukuri.
Lalu bagaimana dengan adanya politik identitas? Sebagai penggiat Politik dan Demokrasi. Penulis memaknai bahwa Politik Identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu. Misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut.
Berangkat dar hal tersebut, penulis menilai bahwa Politik Identitas acap kali menggunakan jubah Agama untuk memenuhi hasrat para elite-elite politik. Strategis menggunakan Politik Identitas dengan memakai jubah Agama ini, justru membuat ancaman tersendiri bagi Demokrasi di Indonesia sekaligus berdampak buruk untuk Pemilihan Umum (Pemilu), bagaimana tidak?, dengan Politik Identitas adalah sebagai salah satu “ancaman utama” yang dihadapi demokrasi, mengalihkan energi dan berpikir jauh dari masalah yang lebih besar, seperti meningkatnya ketidaksetaraan ekonomi.
Bagaimana kita bisa bersatu dalam sesuatu yang besar, ketika kita terus membelah diri menjadi faksi-faksi yang lebih kecil?, dalam hal ini terletak pada suatu kehancuran dalam berdemokrasi.
Jika logika Politik Identitas adalah untuk membagi kita menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, urutan itu berakhir dan tak terhindarkan dengan identitas satu. Dan satu-satunya cara untuk melindungi dan menjunjung tinggi individu pada setiap individu adalah melalui hak dan prinsip yang luas, mencakup semua. Jadi, menurut penulis, daripada menuju Politik Identiitas, kita harus bergerak menuju politik solidaritas.