Dana BOS: Antara Harapan dan Realitas yang Menyakitkan
Oleh: ELyasa, M.Pd (Dosen Prodi. Pend. Ekonomi UNSWA)
Salam Pena News ~ Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diperkenalkan sejak 2005 sebagai skema pendanaan operasional nonpersonalia bagi sekolah dasar dan menengah demi mendukung program wajib belajar. Dana ini bersumber dari APBN (bagian 20% anggaran pendidikan) dan diharapkan menanggung sebagian besar biaya operasional sekolah. Dengan teori, BOS memungkinkan sekolah menetapkan penerima 13 pos pengeluaran pokok, sehingga sekolah penerima tidak boleh memungut biaya wajib kepada peserta didik. Pada praktiknya mekanisme penyaluran BOS telah berevolusi: sejak 2020 dana dialirkan langsung dari pemerintah pusat ke rekening sekolah (tidak lagi melalui daerah) dalam dua kali pencairan setahun (satu per semester). Besaran per siswa kini juga diatur variatif sesuai daerah—misalnya Papua dan Maluku mendapat alokasi lebih tinggi sesuai indeks kemahalan. Tujuan utamanya adalah menekan beban biaya pendidikan dan meratakan akses layanan pendidikan di semua wilayah.
Harapan Para Pemangku Kepentingan
• Pemerintah berharap BOS mewujudkan pendidikan gratis dan berkualitas. Melalui BOS, sekolah seharusnya dapat membebaskan pungutan (karena menutup 12 pos biaya pokok) dan meningkatkan pemerataan (dana disesuaikan dengan kebutuhan daerah). Selain itu, pemerintah menekankan akuntabilitas lewat pelaporan daring (aplikasi ARKAS) untuk transparansi penggunaan dana.
• Kepala sekolah mengharapkan administrasi yang lebih sederhana: dana langsung cair ke rekening sekolah dan lapor penggunaan hanya setahun sekali. Mereka menginginkan fleksibilitas anggaran demi memenuhi kebutuhan spesifik sekolah serta kepastian dana tepat waktu, sehingga sekolah dapat merencanakan program tanpa harus menanggung risiko pembiayaan operasional lewat pinjaman.
• Guru berharap BOS turut memperhatikan kesejahteraan honorer. Sebagai contoh, aturan terbaru mengizinkan maksimal 50% alokasi BOS untuk membayar guru honorer dan tenaga pendidik lainnya. Dengan demikian, diharapkan tunjangan dan kesejahteraan guru terjaga.
• Orang tua/wali murid berharap pendidikan anak bebas dari pungutan tidak wajar. Karena BOS dimaksudkan menutup sebagian besar biaya operasional, idealnya sekolah tidak lagi meminta iuran wajib kepada siswa. Orang tua mengharapkan uang BOS digunakan untuk perbaikan fasilitas, buku ajar, atau kegiatan belajar yang menguntungkan anak-anaknya.
• Komite sekolah dan masyarakat umumnya berharap peningkatan mutu pendidikan. Harapan ditujukan pada peningkatan sarana prasarana, sumber belajar, dan kualitas pengajaran yang didukung BOS. Kepercayaan terbangun jika penggunaan BOS dilakukan transparan dan sesuai peruntukan.
Realita di Lapangan: Hambatan dan Kendala
Meskipun BOS dirancang untuk pemerataan dan bebas pungutan, berbagai laporan mengungkap kenyataan yang menyakitkan. Survei KPK (2024) menunjukkan 12% sekolah masih menyalahgunakan BOS. Praktik penyelewengan beragam: potongan dana BOS, nepotisme dalam pengadaan, laporan fiktif, hingga pungutan liar di sekolah masih ditemukan. Hal ini menunjukkan integritas pengelolaan BOS yang rapuh; KPK mengingatkan bahwa jika BOS disalahgunakan, pihak yang dirugikan justru peserta didik. Data juga mencatat 17% sekolah masih melakukan pungutan ilegal terhadap orang tua siswa.
Di tingkat pengawasan daerah pun muncul keprihatinan. Misalnya, Kalteng tercatat sebagai peringkat ketiga nasional dalam penyalahgunaan dana BOS. Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kalteng menyoroti kurangnya tenaga administrasi di sekolah: kepala sekolah terbebani ganda mengurus laporan keuangan tanpa staf pendukung, sehingga pengawasan internal lemah. Kondisi serupa diungkap BPK Kalteng yang menyebut pengelolaan BOS tidak maksimal karena sekolah kekurangan tenaga tata usaha.
Temuan audit dibeberapa daerahpun memperlihatkan masalah serius. Hasil audit Inspektorat NTB tahun 2024, menemukan adanya penyalahgunaan dana BOS mencapai Rp 214.250.000 di salah satu SMAN di Kabupaten Bima. BPK Perwakilan Banten mengaudit penggunaan BOS 2023 dan menemukan pengelolaan Rp1,16 miliar tidak sesuai ketentuan. Begitu pula di Aceh (Pidie Jaya), BPK melaporkan mekanisme pencairan BOS belum sesuai Permendagri: Bendahara Daerah tidak mengesahkan penerimaan dan pengeluaran dengan SP2T/SPB dan banyak kwitansi dan faktur yang hilang. Praktik tersebut meningkatkan risiko penyalahgunaan, terutama realisasi belanja BOS Rp245.897.300 tidak didukung bukti yang lengkap.
Ketimpangan juga menjadi persoalan. Komisi IV DPRD Kalsel menyoroti perbedaan signifikan antara alokasi BOS di Kalimantan Selatan dengan DKI Jakarta. Hasil studi komparasi menemukan rata-rata siswa SMA di Jakarta menerima sekitar Rp. 6juta per tahun, sedangkan di Kalsel hanya Rp1,64 juta. Disparitas ini mengejutkan banyak pihak karena bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang diharapkan.
Kendala birokrasi turut memperparah situasi. Kementerian mengakui penyaluran BOS sering terlambat karena alur data yang panjang: keterlambatan pengiriman data antarlembaga (sekolah–kabupaten–provinsi) dan beragam aturan di daerah menjadi penyebab utama. Sebagai contoh, aturan di beberapa daerah mewajibkan pengiriman laporan lama sebelum sekolah dapat mencairkan tahap berikutnya. Akibatnya, banyak sekolah harus menalangi operasional dengan dana talangan karena dana BOS baru turun setelah jatuh tempo kegiatan sekolah.
Selain itu, tenggat pelaporan yang ketat membuat sekolah terancam pemotongan anggaran. Mulai 2023, Kemendikbudristek menerapkan skema potongan apabila laporan penggunaan BOS terlambat diserahkan. Misalnya, keterlambatan satu bulan mengurangi 2% pencairan, keterlambatan dua bulan 3%, dan lebih dari tiga bulan 4%. Pada 2024, sekolah yang belum menyampaikan laporan Stage I 2024 minimal 50% bahkan akan ditunda pencairan tahap II 2024. Data per Juni 2024 menunjukkan puluhan ribu sekolah belum melapor sesuai target, sehingga dana BOS mereka tertunda. Kebijakan ini berupaya meningkatkan kedisiplinan, tetapi di sisi lain menambah beban administrasi bagi sekolah.
Analisis dan Rekomendasi
Perbandingan antara harapan dan kenyataan ini memperlihatkan gap yang menganga. Dana BOS seharusnya menjadi instrumen kuat untuk pemerataan pendidikan, tetapi masih ada pekerjaan besar menutup celah integritas dan birokrasi. Indeks Integritas Pendidikan KPK 2024 masih pada level “korektif” (nilai 69,50), menandakan implementasi nilai integritas belum menyeluruh. Penurunan kasus penyimpangan BOS dari 13,39% (2023) ke 12% (2024) tergolong tipis. Sementara itu, ketimpangan anggaran di lapangan menuntut evaluasi lebih lanjut, sebab formula yang ada belum sepenuhnya menutup jurang geografis.
Untuk memperbaiki situasi, diperlukan langkah terintegrasi.
Pertama, peningkatan pengawasan di semua level mutlak dilakukan. Pemerintah daerah harus lebih aktif mengawal pengelolaan BOS, misalnya melalui audit internal rutin dan mekanisme pelaporan transparan. BPK bahkan telah mendesak Gubernur Banten menindaklanjuti temuan penyalahgunaan dengan memberi sanksi tegas kepada kepala sekolah dalam 60 hari. Langkah serupa perlu diadopsi di provinsi lain jika ditemukan penyalahgunaan.
Kedua, penambahan kapasitas administrasi di tingkat sekolah sangat penting. Banyak kasus penyalahgunaan terjadi akibat beban berlebih pada kepala sekolah yang merangkap administrasi keuangan. Pemerintah daerah sebaiknya mempertimbangkan alokasi tenaga tata usaha yang mencukupi di setiap sekolah, sebagaimana disarankan pakar pendidikan. Tenaga profesional ini dapat memastikan laporan BOS dibuat akurat dan lengkap.
Ketiga, transparansi dan akuntabilitas harus diperkuat. Kemendikbudristek sudah menyiapkan pelaporan daring (aplikasi BOS/ARKAS), namun belum semua sekolah optimal menggunakannya. Masyarakat dan komite sekolah perlu diberdayakan untuk ikut memantau penggunaan BOS. Publikasi realisasi anggaran secara terbuka akan mengurangi ruang penyimpangan dan menumbuhkan kepercayaan.
Keempat, pendisiplinan dan penegakan aturan harus konsisten. Kebijakan pemotongan dana bagi sekolah yang terlambat lapor (tahun 2023-2024) penting untuk mendorong kepatuhan. Selain itu, pihak berwenang harus sigap menindak praktek pungutan ilegal. Regulasi yang mewajibkan sekolah tanpa iuran selain BOS (misal PP Nomor 48/2008 dan Permendikbud 44/2012) harus ditegakkan, dan masyarakat diberi saluran pengaduan yang mudah apabila ada pungutan tidak sah.
Kelima, evaluasi formula alokasi perlu terus dilakukan. Komisi IV DPRD Kalsel menyoroti ketimpangan BOS antara daerah kaya dan miskin. Pemerintah harus memastikan skema berbasis Indeks Kemahalan Daerah yang ada berjalan efektif, atau menyesuaikan lagi agar daerah dengan kebutuhan khusus (termasuk biaya pengiriman buku ke daerah terisolir, pembangunan gedung layak) mendapat dukungan memadai. Dalam konteks ini, pemerintah pusat dan daerah juga dapat saling bersinergi menutup kekurangan anggaran melalui APBD jika dibutuhkan, sebagaimana pernah disarankan agar pemda melengkapi apabila BOS tidak mencukupi.
Akhirnya, pencegahan jangka panjang adalah budaya antikorupsi di dunia pendidikan. Hasil KPK menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya soal pelajaran di kelas, tetapi juga soal menanamkan integritas dalam pengelolaan anggaran. Pendidikan anti-korupsi tidak hanya diberikan kepada siswa, tetapi harus meresap dalam tata kelola sekolah. Melalui pelatihan pengelolaan keuangan, supervisi rutin, dan pelibatan komite sekolah, diharapkan penggunaan BOS dapat benar-benar optimal bagi peningkatan mutu pendidikan.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan BOS tidak sekadar menjadi dana rutin yang terserap, tetapi bisa mewujudkan janji awalnya: mencerdaskan anak bangsa secara adil. Jika harapan ini direalisasikan, BOS benar-benar menjadi solusi, bukan sekadar sekumpulan anggaran yang menambah persoalan.
Sumber:
Peraturan dan pernyataan resmi Kemendikbudristek tentang Dana BOS antaranews.comantaranews.commedcom.id
Laporan dan temuan BPK serta hasil survei KPK tentang penyaluran BOS terbaru kpk.go.idbanten.bpk.go.idsinarpidie.cokompas.combanten.bpk.go.id.