M. Nor: Tidak Ada Pencemaran Nama Baik dan Laporan Palsu, Klien Kami Sudah Tempuh Jalur Hukum yang Benar

Bima, Salampena News – Kasus dugaan intimidasi, fitnah, dan pencemaran nama baik yang menimpa seorang warga Desa Mpili, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, berinisial F, kini memasuki tahap penyidikan setelah dilaporkan ke kepolisian pada 27 April 2025. Perkara ini menarik perhatian publik, terlebih setelah pihak terlapor berinisial S, justru melaporkan balik F atas tuduhan pencemaran nama baik dan laporan palsu.

Kuasa hukum F, Muhammad Nor, SH, alias M. Nor menyatakan keberatan atas adanya laporan balik tersebut. Ia menilai hal itu sebagai bentuk intimidasi hukum yang dapat merusak prinsip keadilan.

“Klien kami adalah pelapor yang telah menempuh jalur hukum secara sah/benar, sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) KUHAP dan Pasal 28D UUD 1945, dalam rangka mencari keadilan dan perlindungan hukum atas perbuatan yang diduga telah merugikan hak-haknya,” ujar Muhammad Nor dalam pernyataan tertulis yang diterima pada Sabtu, 19 Juli 2025.

Menurut Kuasa hukum F, Muhammad Nor.,SH, peristiwa ini berawal pada Kamis malam, 17 April 2025, sekitar pukul 20.30 WITA, saat terlapor S mendatangi rumah korban F, yang saat itu sedang sendirian di rumahnya.

Berdasarkan keterangan dari korban, Muhammad Nor menjelaskan, S diketahui mengintip dari celah dinding dapur, mengetuk pintu belakang rumah, dan memaksa korban membuka pintu. Karena ketakutan, korban berteriak meminta pertolongan. Setelah itu, pelaku melarikan diri. Namun saat korban keluar rumah untuk mengecek situasi, pelaku kembali muncul dan langsung memegang tangan korban sambil menuduhnya telah melakukan perbuatan zina dengan seorang warga berinisial Y.

Korban kembali berteriak hingga salah seorang tetangga datang ke lokasi, sehingga pelaku melepaskan tangannya. Menurut informasi yang diperoleh, kata Kuasa hukum F, Y saat kejadian sedang berada di rumah orang tuanya dan tidak mengetahui apa pun terkait insiden tersebut.

Meski demikian, S tetap melaporkan tuduhannya kepada Lembaga Adat Desa Mpili. Korban pun mengalami tekanan dan intimidasi agar mengakui tuduhan zina, yang ia bantah keras. Bahkan S menyuruh orang untuk berpura-pura menelpon Y dan menyatakan bahwa Y telah mengakui perbuatannya, lalu memaksa F untuk ikut mengaku. Namun F tetap menolak karena merasa itu hanyalah rekayasa pelaku.

Upaya mediasi sempat dilakukan, tetapi gagal karena pihak pelaku menginginkan mediasi dilakukan di rumah pamannya, sementara pihak korban menilai lokasi tersebut tidak netral dan menginginkan mediasi dilakukan di kantor desa atau lembaga adat.

Paman pelaku bahkan sempat mengancam keluarga korban, menuntut ganti rugi biaya bensin. Tak hanya itu, korban juga difitnah melalui pemberitaan yang disebar di media sosial dan portal media lokal yang menuduhnya telah melakukan perbuatan zina.

Laporan Resmi dan Tanggapan Kuasa Hukum

F kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Polres Bima pada 27 April 2025. Laporan diproses sesuai prosedur hukum, dan korban telah memberikan keterangan beserta bukti-bukti yang diperlukan. Berdasarkan hasil gelar perkara dan alat bukti yang dinilai cukup, laporan telah dinaikkan ke tahap penyidikan.
Namun di tengah proses tersebut, pihak terlapor mengajukan laporan balik atas tuduhan pencemaran nama baik dan laporan palsu. Menanggapi hal itu, Kuasa hukum F, Muhammad Nor menyebut bahwa laporan balik tersebut hanya bertujuan untuk mengalihkan perhatian dan menekan pelapor.

“Laporan balik itu kami nilai sebagai bentuk tekanan hukum. Ini mengganggu hak warga negara dalam mencari keadilan dan dapat menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum yang adil dan objektif,” tegasnya.

Ia juga menjelaskan bahwa laporan yang diajukan kliennya dilakukan dalam itikad baik, hanya disampaikan kepada aparat penegak hukum, dan tidak pernah dipublikasikan di media sosial atau ruang publik.

“Laporan kami berdasar pengalaman langsung yang dialami klien kami, tidak mengandung unsur penghinaan atau serangan pribadi. Karena itu, kami menilai unsur dalam Pasal 310 KUHP maupun Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak terpenuhi,” tambahnya.

Langkah Lanjutan dan Perlindungan Hukum

Kuasa hukum F juga mengungkap adanya upaya penyebaran informasi tidak benar oleh pihak terlapor di lingkungan masyarakat, termasuk ancaman gugatan perdata kepada keluarga korban setelah mediasi tidak tercapai.

Melihat dinamika yang berkembang, pihaknya kini mempertimbangkan untuk mengajukan permohonan perlindungan hukum ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Selain itu, mereka juga membuka opsi untuk melaporkan dugaan pengaduan palsu, sebagaimana diatur dalam Pasal 317 KUHP, jika laporan balik dari terlapor terbukti tidak berdasar.

“Kami percaya aparat penegak hukum akan menangani laporan klien kami secara objektif, profesional, dan tidak terpengaruh oleh upaya pengalihan isu yang manipulatif,” pungkas Muhammad Nor.*

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *