Mahalnya ongkos budidaya jagung; seperti pengadaan pupuk, pembelian bibit, dan obat-obatan (herbisida dan pestisida) juga menjadi salah satu motif petani melakukan aksi pembukaan lahan baru sebagai usaha untuk menutupi beratnya ongkos pertanian.
Meskipun pemerintah telah meluncurkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sejak 2017, 2018 dan sampai sekarang di 2019 dengan berbunga rendah 7 % /tahun. Tetapi bagi petani, ini tetaplah menjadi beban. Faktanya, satu bulan pascapanen, masyarakat sudah ramai-ramai kembali mengajukan KUR. Ini juga perlu diperhatikan dan dijadikan sebagai referensi bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan untuk memberikan proteksi pasar agar tidak mencekik para petani.
Faktor ketiga, Pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk dan ketersediaan lapangan kerja merupakan keseimbangan yang dinamis. Pertumbuhan jumlah penduduk merupakan sunatullah yang terus berjalan. Artinya final, manusia tak boleh mempermasalahkannya. Dengan demikian, konsekwesinya masyarakat pasti membutuhkan pemukiman baru dan lapangan kerja baru sebagai penunjang kehidupan mereka. Artinya, dengan meningkatnya jumlah penduduk seperti usia muda (umur median 28 tahun), pemerintah Kabupaten Dompu bersama masyarakat harus berpikir lebih keras bagaimana menyediakan lapangan kerja produktif-ramah lingkungan, agar masyarakat tidak lagi menggarap lahan konservasi.
Motif dan Solusi
Berbagai literatur menyebutkan bahwa penyebab langsung dari kerusakan hutan di Indonesia dikarenakan oleh: (1) konversi hutan alam menjadi tanaman tahunan, (2) konversi hutan alam menjadi lahan pertanian dan perkebunan, (3) eksplorasi dan eksploitasi industri ekstraktif pada kawasan hutan (batu bara, migas, geothermal), (4) pembakaran hutan dan lahan, dan
konversi untuk transmigrasi dan infrastruktur lainnya. Semua penyebab tersebut memiliki hubungan yang kompleks dan saling berkaitan dengan terjadinya kerusakan hutan. Sehingga dibutuhkan sebuah instrumen (tools) yang mampu menguraikan secara sistematis sehingga mampu mengidentifikasi persoalan yang prioritas untuk dicarikan solusinya. Kebutuhan terhadap kerangka metodologis yang komprehensif untuk melakukan analisis tentang tata kelola (governance) sektor kehutanan telah lama dirasakan oleh pemangku kepentingan di sektor kehutanan.
Ihlas Hasan Mahasiswa Pasca Sarjana UNJ