HARDIKNAS: Refleksi Dualisme Pendidikan Nasional (Cermin Pergumulan Panjang Islam vs Kristen Diera Kolonialisme, Islam vs Nasionalis Sekuler di era Republik)
Oleh : Syech Fathurahman
Dualisme ataupun dikotomi sistem pendidikan nasional di Indonesia, pendidikan umum di satu pihak (Kemen P&K) dan pendidikan agama (Kemenag) di pihak lain merupakan warisan dari politik pendidikan zaman kolonial Kristen Belanda.
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam RA-MI-MTs-MA dan PT Islam yang ada saat ini lahir atau dulu berawal dari Pesantren sebagai sub-kultur genus pendidikan nasional di Indonesia, lahir bersama proses Islamisasi Nusantara abad 14. Kemudian Pesantren mulai menjamur pada abad 16.
Belanda kemudian juga mendirikan Sekolah untuk anak-anak Belanda dan kelompok elit pribumi demi kelangsungan kekuasaan dan kelancaran misionarisnya. Sekolah-sekolah tersebut didirikan dengan berbagai kriteria dan variasinya secara diskriminatif yang bertujuan untuk mempertahankan perbedaan sosial, mengkristenkan masyarakat pribumi dan menjadikan rakyat sebagai Pegawai atau pekerja kasar/buruh murah.
Kristenisasi Nusantara sangat dibutuhkan Belanda untuk menghilangkan hambatan psikologis dalam mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, sebagaimana misi utama Kolonialisme adalah 3G= Gold-Glory-Gospel, Emas-Kejayaan dan Gereja.
Pemerintah Belanda menerapkan pengawasan dan kontrol yang sangat ketat dan kaku sebagai alat politik untuk menghambat bahkan menghalang-halangi pelaksanaan pendidikan Islam dengan membentuk suatu badan yang khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesnterraden.
Salah satu kebijakan Hindia Belanda mengawasi pendidikan Islam adalah penerbitan Ordonansi Guru (1928), yang mewajibkan Ulama/Guru-guru Agama memiliki Surat Izin dari Pemerintah.
Sampai berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia, upaya Kristenisasi tersebut gagal total, tapi semangat hegemoni Neo-Kolonialisme dalam dunia pendidikan nasional tampak tetap diwarisi oleh kelompok Nasionalis Sekuler yang menjadikan lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai pendidikan “kelas dua”. Bahkan, meski kita mendapati fenomena Potret Buram Pendidikan di Sekolah-sekolah Umum seperti tawuran, pesta miras, free seks dan dekadensi moral lainnya, namun ghirah untuk menjauhkan orang Islam dari ajaran agamanya tak kunjung padam.
Adakah dahulu Ki Hajar Dewantara, sebagai tokoh pendidikan nasional, pernah punya sikap antipati terhadap pendidikan Islam? Tentu saja tidak.
So, sikap under estimated/antipati terhadap pendidikan Islam itu kita warisi dari siapa? dan untuk kepentingan siapa? Bagaimana Praktisi Pendidikan Nasional menerjemahkan ‘Ing ngarso sung tulodo, ing madyo Mangun karso, tut wuri handayani’ di tengah-tengah komunitas mayoritas muslim religius?
Baik ketika ‘Ing ngarso’ sebagai pemimpin, pembuat kebijakan, atau ketika ‘ing madyo’ sebagai mobilisator, atau juga ‘tut wuri’ di belakang sebagai motivator religius menyatu bersama umat mayoritas atau memilih melawan arus sebagai antek Newkolim yang Sekuler, Islamophobia?