Pesan Abadi Ibadah Haji

Oleh: Muhammad Abdul Ghaniy Morie
(Alumnus PTIQ Jakarta)

Islam adalah agama petunjuk, memuat ajaran moral yang kokoh bagi perjalanan hidup manusia. Ajaran Islam tidak hanya menyentuh dimensi individual, tapi juga menekankan pada dimensi sosial. Berangkat dari hal itu, ibadah haji selain sebagai rukun Islam kelima yang merupakan salah satu persyaratan elementer sebagai Muslim pada tingkat individual, juga merupakan ibadah berskala besar yang memiliki nilai luhur bagi kehidupan bersama.

Sering kita mendengar ungkapan, “menunaikan ibadah haji bagi yang mampu”. Ada kesan di kalangan umat Islam Indonesia dewasa ini mengartikan naik haji sebagai ibadah material dan simbol status sosial. (Bruinessen, 1990: 48). Berangkat ke tanah suci dengan segala kemampuan yang dimiliki lalu pulang membawa gelar haji.

Mengutip laporan Kemenag RI, untuk tahun 2022, ONH biasa sejumlah Rp. 39.886.009,- per jemaah dengan jumlah sebanyak 100.051 jemaah yang akan berangkat haji. Mengingat Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki kuota jemaah haji terbanyak juga sistem tunggu yang begitu lama, disarankan untuk melaksanakan haji sekali seumur hidup, hal ini dapat memberikan peluang bagi umat Islam lainnya untuk berangkat haji.

Haji merupakan sebuah fenomena keagamaan yang memiliki skala besar. Karena itu diperlukan sebuah pemahaman mendalam untuk kemudian mengungkap apa yang nampak di balik fenomena besar itu.

Ibadah haji bisa ditemukan maknanya bila dilihat dari perspektif gerakan kemanusiaan yang membawa pesan egaliter sebagai salah satu warisan doktrin Nabi Ibrahim, Bapak spiritual dari seluruh agama tauhid. Ka’bah yang kemudian dijadikan kiblat umat Muhammad, dibangun oleh Nabi Ibrahim bersama putranya Isma’il. Ka’bah tidak lain sebagai sebuah arah, sedangkan tujuan tetaplah Allah, Dzat yang tak terikat oleh ruang dan waktu (Maarif, 1990: 3). Perspektif ini digambarkan dalam Al-Qur’an: “Maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah” (QS. Al-Baqarah: 115).

Sepanjang tahun, Ka’bah memang selalu memiliki daya tarik tersendiri, terlebih di musim haji. Umat Islam dari berbagai penjuru melakukan perjalanan ke sana. Bahkan sebagian besar dari mereka yang berusia lanjut, tidak jarang berniat sebelum berangkat haji untuk wafat di tanah suci, apa pun alasannya. Hal itu, telah terpotret dalam firman Allah pada QS. Al-Hajj ayat 27: “Dan serulah manusia supaya mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh”.

Telah disinggung di atas bahwa ibadah haji membawa pesan egaliter yang nyata. Bisa dilihat misalnya pada pakaian ihram yang dipakai, semuanya sama. Segala macam atribut status sosial, pangkat dan jabatan yang dimiliki manusia, pada saat itu berguguran. Semua orang berdzikir melantunkan nama Allah dengan penuh pasrah dan khusyuk. Sifat kesombongan dalam diri manusia dipaksa mencair, dan seharusnya memang sesudah pulang dari haji akan tetap mencair untuk selama-lamanya.

Melalui ibadah haji, manusia dituntun keluar dari cara pandang hidup yang mengandalkan kriteria normatif sosiologis. Ibadah haji mendidik manusia untuk tidak berbangga-bangga dengan asal-usul keturunan, kekayaan dan atribut keduniaan lainnya. Itu semua tidak ada harganya di hadapan Tuhan. Posisi manusia ditentukan sejauhmana pengabdiannnya kepada Tuhan, itulah yang disebut sebagai takwa.

Bagi umat Islam, ibadah haji juga dapat mencerminkan semangat ukhuwah, yaitu rasa persatuan dan kesatuan. Demikian pentingnya nilai ini, Nabi menyebutkan dalam haditsnya bahwa umat Islam dianalogikan sebagai sebuah bangunan, bahwa setiap komponen satu dan yang lainnya dapat saling menguatkan. Persatuan dan kesatuan umat yang dilambangkan melalui ibadah haji dibangun atas dasar nilai moral, umat Islam digerakkan oleh kesadaran untuk melaksanakan ibadah kepada Allah.

Semangat ukhuwah yang dicerminkan ibadah haji seharusnya dapat bertahan lama, walau terkadang umat kita suka berkonflik, bahkan dengan alasan-alasan yang sederhana. Oleh sebab itu, satu-satunya jalan terbaik adalah kita harus kembali pada jati diri umat Islam, yaitu Al-Qur’an, kitab yang mengajarkan nilai-nilai moral universal. Subjektifitas historis dan kultural tidak diperkenankan mendapat peran dominan bila kita memang benar-benar ingin menemukan jati diri umat dalam perspektif Al-Qur’an.

Pada akhirnya, kesadaran akan Tuhan Yang Maha Esa haruslah melahirkan kesadaran akan kesatuan manusia. Dalam arti bahwa manusia merupakan umat yang satu dan memiliki akses yang sama kepada Tuhan. Pada hakikatnya setiap manusia memiliki kaitan dengan Tuhan. Sebab ada perjanjian antara kita dengan Tuhan yang digambarkan dalam Al-Qur’an: “Bukankah Aku Tuhanmu”? Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi” (QS. Al-A’raf: 172). Perjanjian ini terjadi ketika manusia masih berada dalam wujud ruh. Maka ketika lahir ke dunia, manusia terikat dengan janji ini, sehingga menjadi dorongan ruhani dalam diri manusia untuk terus mengabdi kepada-Nya. Karena itu, haji tidak hanya dimaknai sebagai perjalanan fisik tapi juga merupakan perjalanan ruhani atau spiritual. Perjalanan hakiki menuju Allah, Maha Pemberi makna segala kreasi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *