Oleh : Suherman
Anggota KPU Dompu Periode 2014-2019
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, terdapat 224 petahana yang kemungkinan mencalonkan diri pada Pilkada 2020 yang akan digelar di 270 daerah di Indonesia.
Di Pilkada NTB yang akan diikuti oleh 6 Kabupaten dan 1 Kota, kecuali Kabupaten Dompu, Lombok Tengah dan Kota Mataram yang tidak diikuti oleh kepala daerah petahana karena sudah dua periode. Selain itu kemungkinan petahana akan mencalonkan diri kembali.
Pasal 1 ayat (20) Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan Pikada menyebutkan bahwa petahana adalah Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota yang sedang menjabat.
Di perhelatan Pilkada, biasanya ada dua kondisi petahana. Pertama, petahana yang mencalonkan diri dan kedua petahana yang tidak mencalonkan diri.
Bagi petahana yang mencalonkan diri maupun tidak mencalonkan diri namun memberikan dukungan kepada pasangan calon tertentu akan cenderung memiliki posisi yang menguntungkan dan diuntungkan. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, petahana dengan mudah memanfatkan seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya, anggaran dan program yang dikuasainya untuk kepentingan politik dirinya.
Dalam posisi petahana yang mencalonkan diri kembali sebagai bahan diskursus dan barangkali ada yang mau mengajukan Judicial Revie ke MK, hemat penulis petahana yang mencalonkan diri kembali harus mengundurkan diri saat penetapan pasangan calon.
Kenapa harus mundur? Sekurangnya ada dua alasan. Pertama, agar kepala daerah dan wakil kepala daerah petahana tidak melakukan penyelewenangan kekuasaan (abuse of power).
Penyalahgunaan kewenangan dan kekuasan dilakukan oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah petahana melalui pemanfaatan jabatan yang melekat pada dirinya dengan mudah membuat kebijakan-kebijakan yang “mendadadak” saat dimulainya tahapan pilkada berkedok bakti sosial, kunjungan kerja dan sebagainya. Termasuk didalamnya memobilisasi ASN dan kepala desa serta perangkatnya dengan kegiatan yang dikemas dalam bentuk rapat koordinasi, rapat kerja dan rapat-rapat lainnya.
Meskipun ada larangan untuk tidak melakukan mutasi birokrasi, larangan membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon namun itu masih dapat memberikan peluang dan celah hukum bagi petahana untuk mempertahankan kekuasaannya.
Kedua, untuk keadilan. Pada pasal 57 UU No. 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dalam UU 9 Tahun 2015 tentang pemerintah daerah menyebutkan bahwa penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah.
Mestinya sesama unsur penyelenggara pemerintahan daerah, harus diberlakukan sama dalam hak politiknya. Namun realitasnya terjadi pembedaan perlakuan disaat keduanya ingin menyalurkan hak politiknya dengan mencalonkan diri dalam Pilkada. Kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak wajib mundur namun hanya cuti kampanye dimasa kampanye. Sedangkan anggota DPRD wajib mengundurkan diri saat penetapan pasangan calon.
Dua hal kondisi diatas diperparah lagi manakala kurangnya pengawasan dan penegakkan hukum dari penyelenggara pemilu (Baca :Bawaslu) serta kurangnya partisipasi pemilih untuk mengkritisi dan mengontrol jalannya kebijakan dan program kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mencalonkan diri ataupun yang tidak mencalonkan diri namun mendukung pasangan calon tertentu.
Pilkada sejati memberikan kesempatan dan ruang yang sama bagi putra-putri terbaik bangsa yang ada di daerah untuk berkontestasi dan berkompetisi secara jujur dan adil terlepas dia petahana atau bukan.