Salam Pena News – Mulanya berangkat dari status di akun facebook Satria Madisa mengkritik kepemimpinan Dr. Zulkifliemansyah. Kritik yang di utarakanya seperti, Obral ‘Bansos’ pendidikan 1,45 miliar: jadi temuan BPK, Visi 1000 cindekia: jadi temuan BPK dengan kerugian negara mencapai 1,8 miliar, Polda dan Kejati NTB ‘kompak’ selidiki dugaan korupsi bansos covid “JPS NTB Gemilang”. Juga adendum PT GTI.
Dari status ini dinilai pendukung istana, mulai dari Staf khusus dan simpatisan Zulkifliemasyah itu hinaan atau fitnah semata. Tidak jarang juga dikolom komentar akun Satria Madisa berkomentar diluar narasi kritikan tetapi pada persoalan mata dan mulut Gubernur dijadikan meme kritik. Hingga berujung pada pelaporan polisi.
Reaksi pelaporan tersebut, selain membukam napak tilas Demokrasi. Juga krisis nalar demokrasi. Oposisi, bukan sesuatu yang paradoks atau dibenci, apalagi dijegal. Kritik, itu bentuk kencintaan warga negara terhadap pemimpinnya. Agar dia tidak berpaling menjadi pemimpin yang Dzolim.
Gubernur NTB, Dr. Zullifliemansyah menanggapi melalui akun resminya di Facebook. Dengan narasi berikut:
“2 hari belakangan ini banyak sekali yg protes ke saya tentang Akun Satria Madisa. Yang di protes bukan pada kritiknya tapi pada foto saya yg di lakban merah mulut dan mata nya bak kriminal 🙂 Kalau kritiknya benar mungkin ada pembenaran, tapi kalau kritiknya hanya fitnah jadi nggak elok saja.
Saya sih sebenarnya oke2 saja, tapi kalau ada yg keberatan bahkan marah karena kita diperlakukan nggak pantas susah juga dijelaskan satu per saru kepada mereka. Jadi usul saya, saran, kritik dan lain-lain bagus dan boleh-boleh saja tapi jangan dengan cara atau perlakuan yang di luar batas kewajaran, “tulisnya menanggapi pelaporan akun FB Satria Madisa. Sisi lain dari status Dr. Zul itu ditanggapi ramai para Netizen. Ada yang menyudutkan, hingga memuji.
Sementara respon balik, Satria Madisa melalui akun FB nya dengan ulasan berikut:
Saya tahu “arus publik” akan menuntun Pak Gubernur Bang Zul Zulkieflimansyah bicara untuk menanggapi kritik, sekaligus menanggapi para LSM yang melaporkan saya dan Bagus Atmaje di Kepolisian.
“Saya tidak tahu menahu para LSM itu, saya tidak memberikan persetujuan, (surat kuasa) pada yang bersangkutan untuk melaporkan kritik. Fokus kita kedepan, menganalisis subtansi kritik, dan menyelesaikan masalah rakyat di Gili Trawangan.” Kira-kira beginilah pernyataan yang muncul yang saya harapkan (prediktif).
Dengan sendirinya, Gubernur “panen” apresiasi. Baik dari masyarakat gili, lebih-lebih publik, yang getol mengkritik dan menyayangkan kritik diupayakan (dipaksakan) dengan jeruji.
Skenario terburuk, dalam pikiran saya, Gubernur mengkonfirmasi bahwa “kecaman” yang ngaku aktivis, dan advokad, serta pelaporan itu hadir, karena peran Gubernur. (Langsung maupun Tidak langsung).
“Saya akan menegakan kehormatan saya. Saya akan melaporkan dua mahasiswa tersebut,” begitu prediksi terburuk, yang akan muncul atas tanggapan Gubernur.
Namun saya salah menduga.
Gubernur sendiri mengarahkan kritik pada “duel opini”. Hingga panen kritik publik yang luas. (Saya kaget publik senekat itu menjawab curhat Gubernur). Namun Rakyat terlupakan, sebagai bagian tak terpisahkan dari subtansi kritik. Gubernur bahkan menurut saya tak bisa bedakan mana kritik dan mana hinaan. Kesannya sama dengan kualitas narasi para stafkhusunya, LSM mengecam juga LSM yang melaporkan saya.
Diksi Gubernur “kalau kritiknya benar mungkin ada pembenaran, tapi kalau hanya fitnah jadi nggak elok saja” ini sangat rancu dan paradoks. Konteks kalimatnya, memang dimaksudkan menyudutkan kritik.
Saya teringat pidato SBY pada KPK di Kasus Cak Anas. Yang kira-kira begn”Jika benar lanjutkan proses hukumnya, jika salah, tunjukan bagaimana tidak salahnya”.
Baiknya agar terang dan jelas, Gubernur sendiri turun gunung. Polisikan saya dan Bagus. Kita siap mempertanggungjawabkan dengan baik. Walau kami kalah. Tapi jika ada pengadilan pikiran, saya dan kader saya di HMI itu akan memenangkan sengketa ini.
Maaf Pak Gubernur. Jadi Gubernur saja anda berkesan baper (ini pendapat ya). Bagaimana kalau anda jadi Presiden. Belajarlah pada Umi Dinda (Bupati Bima) dan Pak Jokowi, apa yang tertuang dalam “The Master Of Alibi, yang disertai penyilangan mulut dan mata, belum seberapa dengan “King Lip Of Service” dan Baliho yang digantung dipinggiran jalan, yang menyilang mata, mulut, foto Umi Dinda dijalan rusak oleh LTDS.
Tapi itulah bedanya “Mentalitas” pemimpin. Ada yang baper ada juga yang bermental baja.
Jika kritik itu tanda cinta. Maka pantas dilekatkan pada Satria Madisa seperti Che Guevara mengatakan Kebenaran dan Keberanian yang membuat kalian akan tahan dalam situasi apapun. Nyali sama harganya dengan nyawa. Jika itu hilang, niscaya tak ada gunanya kau hidup!.
Begitu juga Bang Zul bisa sedikit menaruh Legacy baik dalam kepemimpinannya. Sebagaimana Sun Tzu mengingatkan dirinya “Penguasa yang mulia adalah pemimpin yang peka dan jenderal yang baik adalah dia yang berhati-hati”.
(EB)